Kamis, 07 April 2016

asbab An Nuzul



Bab I
PENDAHULUAN
1.1.      Latar Belakang.
            Dalam pemahaman dan keyakinan kita sebagai umat Islam, Al-Qur’an sebagai kitab suci, mengandung sabda Tuhan (Kalam Allah) yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril, secara berangsur-angsur (mutawatir). Dalam memahami Alqur’an yang mulia itu, tentunya kita perlu untuk mengetahui apa sebab diturunkannya Al-Qur’an itu ke bumi ini. Atau yang lebih kita kenal dengan Asbab Al-Nuzul. Pentingnya ilmu asbab Al-nuzul dalam ilmu Al-Qur'an ialah guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri.  
Ilmu Asbab A-Nuzul mempunyai pengaruh yang penting dalam memahami ayat, karenanya kebanyakan ulama begitu memperhatikan ilmu tentang Asbabun Nuzul bahkan ada yang menyusunnya secara khusus.
            Oleh karena pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur'an guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya, dapatlah dikatakan bahwa di antara ayat Al-Qur'an ada yang belum tentu dapat dipahami secara jelas atau tidak mungkin diketahui ketentuannya/hukumnya tanpa ilmu Asbabun Nuzul.
1.2.      Rumusan Masalah
A.    Membahas pengertian Asbab Al-Nuzul
B.     Membahas pengetahuan Asbab Al-Nuzul dalam memahami Al-Qur’an
C.     Membahas kegunaan dan faedah mengetahui Asbab Al-Nuzul

1.3.      Tujuan
A.       Dapat memahami Isi/kandungan Al-Quran dengan benar.  
B.       Dapat mengetahui latar belakang ayat tersebut diturunkan.
C.       Dapat menetapkan hukum atas diturunkanya kisah didalam Al-Qur’an.

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Asbab Al-Nuzul
Secara etimologi, “Asbab Al-Nuzul” berarti sebab-sebab atau latar belakang turunya ayat-ayat. Al Qur’an yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW secara bernagsur-angsur melalui perantara malaikat Jibril. Al-Qur’an diturunkan tidak lain adalah untuk memperbaiki akidah, ibadah, akhlak dan pergaulan manusia yang sudah menyimpang dari kebenaran. Karena itu, dapat dikatakan bahwa penyimpangan dan kerusakan dalam tatanan kehidupan manusia merupakan sebab umum turunnya Al-Qur’an. Menurut Mana’ Al-Qathan asbab al-nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunya Al-Qur’an berkenaan dengan waktu peristiwa itu terjadi baik berupa kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada nabi SAW. (Mana’ Al-Qathan, 2007: 95).
ما نزلت الا ية اوالايا ت بسببه متضمنة له او مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمن وقوع
Artinya :
Sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut”.
            Definisi ini memberikan pengertian bahwa sebab turunnya suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau beberapa ayat turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban atas pertanyaan tertentu.
            Sebab-sebab turun ayat dalam bentuk peristiwa ada tiga macam. Pertama, peristiwa berupa pertengkaran seperti perselisihan yang berkecamuk antara segolongan dari suku Aus dan golongan dari suku Khazraj. Perselisihan itu timbul dari intrik-intrik orang yahudi sehingga mereka berteriak: “Senjata senjata! perang!”. Peristiwa tersebut menyebabkan turunya ayat di dalam Al-Qur’an surat Ali Imran (3): 100.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
 (ال عمران : ..ا)
Artinya :
”Hai orang-orang beriman, jika kamu  mengikuti sebagian orang-orang yang diberi Al-Kitab,  niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman”.
Hal ini merupakan cara terbaik untuk menjauhkan orang-orang dari perselisihan dan merangsang orang kepada sikap kasih sayang, persatuan, dan kesepakatan.
Yang kedua, peristiwa berupa kesalahan yang serius, seperti peristiwa seseorang yang mengimami shalat sedang dalam keadaan mabuk sehingga salah dalam membaca surat Al Kafirun. Ia membaca,
قل يا ايها الكا فرون. اعبد ما تعبدون
Dengan tanpa لا pada  اعبد لا . peristiwa ini menyebabkan turunnya ayat :  
يا ايهاالذين امنو لا تَقْربُو الصلو ة وانتم سكرى حتى تعلموا ما تقولون...... (النساء: 43)
Artinya :
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu hampiri sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan......” (Q.S An-Nisa’: 43)
            Yang ketiga, peristiwa berupa adanya cita-cita atau keinginan. Contohnya adalah dalam sejarah yang mencatat ada beberapa ucapan yang ingin di sampaikan sahabat Umar bin Khattab, tetapi beliau tidak mengucapkanya, kemudian turunlah ayat yang diinginkan Umar dalam QS Al Mukminun (23) ayat 14:
فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ…
Artinya: “Maka Maha sucilah Allah, pencipta yang paling baik”.
 Adapun sebab-sebab turunnya ayat dalam bentuk pertanyaan dapat dikelompokkan dalam tiga macam (Ramli Abdul Wahid, 1993: 32). Pertama, pertanyaan yang berhubungan dengan sesutu yang telah lalu, seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 83:
ويسْألُونَكَ عَنْ ذِي الْقَرْنَيْنِ قُلْ سَأَتْلُوعَلَيْكُمْ مِنْهُ ذِكْرًا
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang zulkarnain”.
Yang kedua, pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu, seperti dalam surat Al-Isro’ ayat 85:
مِنَ أُوتِيتُمْ وَمَا رَبِّي أَمْرِ مِنْ الرُّوحُ قُلِ الرُّوحِ عَنِ وَيَسْأَلُونَكَ
قَلِيل إِلَّا الْعِلْمِ
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah bahwa ruh itu urusan Tuhanku, dan kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit”.
Ayat-ayat itu turun mengiringi sebab itu langsung atau sedikit dari sebab tersebut karena ada hikmah tertentu yang ada dibaliknya, ketika Rasulullah SAW ditanya oleh kaum Quraisy tentang ruh, Ashabul khfi, dan Zulkarnain. Rasul menjawab, “Besok akan Kuberitahukan kamu”, tanpa mengucapkan “Insya Allah”( Jika Alllah menghendaki). Ternyata wahyu itu terlambat turun selama belasan hari, tapi ada yang mengatakan tiga hari, ada juga yang empat puluh hari sehingga Rasul merasa kesulitan. Kemudian turunlah jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut yang didalamnya terkandung pengarahan Allah bagi Rasul-Nya berupa pengecualian dengan mengucapkan “Insya Allah”, Allah berfirman:
ولا تقولن لشىء انى فا عل ذالك غدا. الا انيشاء اللله وذكر ربك اذا نسيت وكل عسى انيهدين ربى لاقرب من هذا رشدا. (الكهف : 24-23)
Artinya :
“Dan janganlah kamu sekali-kali katakan terhadap sesuatu: “sesunguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi”, kecuali (dengan menyebut):”Insya Allah”. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”.
Pertanyaan yang ketiga, pertanyaan yang berhubungan dengan masa yang akan datang, seperti dalam surat Al-Nazi’at ayat 42:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا
Artinya :“Mereka bertanya kepadamu tentang kiamat, kapankah terjadinya?”
Sekalipun ayat-ayat itu berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dimasa lalu atau yang masa yang akan datang, seperti sebagian kisah para Nabi, bangsa-bangsa terdahulu dan pembicaraan tentang hari kiamat serta hal-hal yang berkaitan dengannya, namun kisah-kisah itu bukan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Akan tetapi, ayat-ayat itu diturunkan untuk menjadi pelajaran dan cermin perbandingan bagi umat yang membaca atau mendengarnya dan bukan diturunkan sehubungan dengan peristiwa itu berlangsung atau pertanyaan yang sedang dihadapi Rasul saw. Dan Ayat-ayat yang seperti itu banyak dijumpai dalam Al-Qur’an.
B.   Perlunya pengetahuan Asbab Al-Nuzul dalam memahami Al-Qur’an
            Mempelajari dan mengetahui Asbab Al-Nuzul bagi turunnya Al-Qur’an sangatlah penting, terutama dalam memahami ayat-ayat yng mneyangkut hukum. Para ulama’ juga telah menulis beberapa kitab khusus tentang sebab-sebab turunya ayat Al-Qur’an dan menekankan betapa pentingnya Asbab Al-Nuzul dengan pernyataan-pernyataaan yang tegas. Dalam kitabnya, Al-Wahidi berkata: “Tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat Al-Qur’an tanpa mengetahui kisahnya. dan sebab turun ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna Al-Qur’an.
Sebagai contoh tentang bahaya menafsirkan Al-Qur’an tanpa mengetahui sebab turunnya ialah Penafsiran Usman bin Mazun dan Amr bin Ma’addi terhadap ayat :
ليس على الذين امنوا وعملوا الصلحت جناح فيما طعموا اذا ما اتقوا وامنو وعملوا الصلحت.... (المائدة : 93) 
Artinya :
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman dan beramal shalih”. (Q.S Al-Maidah: 93)
Mereka memperbolehkan minum khamer berdasarkan ayat ini. As Suyuti berkomentar bahwa sekirannya mereka mngetahui sebab turun ayat ini, tentunya mereka tidak akan mengatakan demikian. Sebab, Ahmad An-Nasa’i dan lainnya meeriwayatkan bahwa sebab turun ayat ini adalah karena orang-orang bertanya ketika khamer diharamkan bagaimana nasib kaum muslimin yang terbunuh dijalan Allah sedang mereka dahulunya minum khamer.
            Dari contoh diatas, dapat dipahami bahwa betapa bahayanya memahami Al-Qur’an tanpa mengetahui sebab turunnya ayat tersebut. Namun demikian, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua ayat Al-Qur’an harus mempunyai sebab turun. Ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus diketahui sehingga tanpa mengetahuinya ayat tersebut bisa dipahami. Ahmad Adil Kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat Al-Qur’an melelui dua cara. Pertama, ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan terhadap Nabi SAW. Kedua, ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan. Kemudian, ia menambahkan bahwa ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, ayat-ayat yng sebab turunnya harus diketahui, seperti ayat-ayat hukum. Sebab, itu penting untuk diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru. Kedua, ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, seperi ayat-ayat yang menyangkut kisah dalam Al-Qur’an. Kebanyakan ayat-ayat kisah, turun tanpa sebab yang khusus. Namun, bukan berarti bahwa semua ayat-ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya. Bagaimanapun, sebagian kisah yang ada dalam Al-Qur’an tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab turunnya. Seperti ayat-ayat menyangkut tuduhan terhadap Aisyah ra. Sedangkan kisah-kisah sebab turunnya ayat tidak harus diketahui ialah kisah bangsa-bangsa terdahulu, ayat-ayat yang menyangkut ibadah, celaan, janji, ancaman, pengajaran, pengarahan, perintah, dan larangan. Ayat-ayat seperti ini dapat dipahami tanpa mengetahui sebab turunnya. Sementara ayat-ayat tertentu tidak dapat dipahami sama sekali tanpa mengetahui sebab turunnya.
C.  Kegunaan dan faedah mengetahui Asbab Al-Nuzul
            Menurut Al-Zarqani, ada tujuh macam diantara kegunaan dan faedah mengetahui Asbab Al-Nuzul, sebagai berikut:
1.      Dengan adanya pengetahuan Asbab Al-Nuzul, kita dapat megetahui tentang rahsia, makna dan tujuan Allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui Al-Qur’an.
2.      Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan dari kesulitan.
3.      Dapat menolak dugaan adanya hasr (pembatasan) dalam ayat yang menurut lahirnya mengandung hasr itu tadi.
4.      Dapat mengkhususkan hukum pada sebab menurut ulama’ yang memandang bahwa yang harus diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
5.      Dengan mempelajari sebab turunnya, diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya (pengkhususan).
6.      Dengan Asbab Al-Nuzul, diketahui ayat tertentu yang turun pada orang secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran.
7.      Dapat mempermudah orang dalam menghafal ayat-ayat Al-Qur’an karena mengerti sebab-sebab turunya ayat yang telah dihafal.
BAB III
KESIMPULAN
            Semua kegunaan dan faedah yang telah disebutkan diatas sangatlah penting diketahui oleh seorang mufasir yang hendak menafsirkan Al-Qur’an dan mengistinbat hukum-hukum yang ada didalam Al-Qur’an, terutama sebab-sebab turun ayat-ayat yang menyangkut hukum. Dan dengan mengetahui Asbab Al-Nuzul kita dapat menunjang kemantapan pendirian dan kesempurnaan wawasan bagi seorang yang hendak memahami Al-Qur’an secara benar.
            Dari uraian diatas juga, merupakan bagian penting dalam upaya untuk lebih memahami apa yang ingin disampaikan al-Qur’an dan sebagai salah satu kajian Ulumul Qur’an yang lebih objektif dan kontekstual. Karena al-Quran tidak bisa dipahami tanpa terlebih dahulu untuk mengetahui sebab turunnya ayat tersebut.

Daftar Pustaka
Abdul Wahid, Ramli. 1993. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali.
Al-Qathan, Mana’. 2001. Pembahasan Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Syadzali, Ahmad. 2000. Ulumul Qur’an. Bandun:  Pustaka Setia.
Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Offset. hal.103

Jumat, 01 April 2016

Tafsir Tahlily



TAFSIR TAHLILI
Siti Robikah
            Pendahuluan
            Mengingat Al-Qur’an dengan keajaibannya yang tidak akan habis dan kecintaan kepadanya tidak pernah lapuk oleh zaman, adalah sesuatu yang dapat dipahami jika terdapat ragam metode dalam menafsirkan Al-Qur’an. Kitab-kitab tafsir yang ada sekarang merupakan indikasi kuat yang memperlihatkan perhatian para ulama’ untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan dalam Al-Qur’an.
            Harus diakui bahwa metode penafsiran yang ada atau dikembangkan selama ini memiliki keistimewaan dan kelemahannya. Masing-masing dapat digunakan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
            Secara umum dikenal empat macam metode dalam penafsiran, yaitu:
1.      Tahlily ( Analisis)
2.      Ijmaly (Global)
3.      Muqarin(perbandingan)
4.      Maudhu’i(tematik)[1]
Inilah metode-metode yang digunakan mufasir untuk menafsirkan Al- Qur’an.
                               I.            METODE TALILY
            Metode ini berusaha untuk menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, dan keinginan mufasirnya yang dihidangkan secara runtut sesuai dengan runtutan ayat dalam mushaf. [2]
            Metode tahlily berarti menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksut setiap ungkapan, kaitan antar pemisah ( munasabah), dengan bantuan asbab an-nuzul, riwayat-riwayat dari nabi, sahabat,dan tabi’in. [3]
            Menurut Malik bin Nabi bahwa tujuan dari metode  penafsiran ini adalah untuk meletakkan dasar- dasar rasional bagi pemahaman dan pembuktian  kemukjizatan Al-Qur’an. Kritik ini dapat diterima jika yang dimaksut adalah tahap awal dari lahirnya metode ini, karena dalam kenyataannya hal tersebut tidak selalu ditemukan kecuali pada tafsir tahlily yang bercorak kebahasaan.
            Para Mufasir berusaha menjelaskan makna yang terkandung didalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehensif dan menyeluruh baik itu bi al-ma’tsur dan bi al- ra’yi. Dalam penafsiran ini para mufasir menafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat dan juga menjelaskan tentang asbab an-Nuzul dalam ayat yang ditafsirkan. [4]
            Dalam menafsirkan dengan metode tahlili , mufasir memberikan perhatian penuh tehadp ayat yag ditafsirkannya guna mendapat makna yang benar pada setiap ayatnya. Azyumardi Azra, editor dalam bukunya Sejarah dan Ulum Al Qur’an memaparkan cara yang biasa ditempuh dalam metode ini.
a.       Menjelaskan munasabah dari ayat atu ke ayat lain atau dari surat satu ke surat lain.
b.      Menjelaskan Asbab An Nuzul
c.       Menganalisis mufrodat dan lafadz dari sudut pandang bahasa arab
d.      Memaparkan maksut ayat secara umum dan kandungannya
e.       Menerangkan unsur-unsur yang mengandung keindahan balaghah
f.       Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dijelaskan, khususnya ayat ahkam
g.      Menerangkan makna dan maksut syara’ yang terkandung dalam ayat yang bersangkutan[5]
            Para mufasir tidak seragam dalam mengoperasionalkan metode ini. Ada yang menguraikannya secara ringkas, ada pula yang secara terperinci. Macam-macam tafsir dibawah ini menunjukkan keberagaman tersebut:
1.      Tafsir bi Al-Ma’tsur
2.      Tafsir bi Ar-Ra’yi
3.      Tafsir Ash- Shufi
4.      Tafsir Al-Fiqhi
5.      Tafsir Al-Falsafi
6.      Tafsir Al-Ilmi
7.      Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima
A.    Tafsir bi Al-Ma’tsur
            Adalah penjelasan Al-Qur’an sendiri dari Rasulullah kepada para sahabat, dari sahabatnya dengan ijtihad dan dari para tabi’in juga berdasarkan ijtihadnya.
Ada dua fase dalam metode tafsir tahlily ini:
            Pertama, fase periwayatan dengan lisan. Dalam fase ini sahabat menukil riwayat penafsiran dari nabi dan menyampaikan kepada sahabat lainnya. Para Tabi’in menukil kepada sahabat dengan metode menukil sanad yang teliti dan seksama. Fase ini berakhir karena datangnya fase kedua.
            Kedua, fase pengodifikasian. Riwayat penafsiran fase pertama mulai dibukukan. Pada mulanya riwayat-riwayat penafsiran ini merupakan salah satu bab dari bab-bab kitab hadis yang kemudian berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu. Sejak itu ditulislah kitab-kitab tafsir yang memuat tafsir bi al-ma’tsur. Diantara kitab-kitab bil al ma’tsur yang ada, tafsir ath-thabarilah yang paling baik sebab menuturkan banyak pendapat penafsiran lalu menyeleksinya.

            Diantara kitab yang menggunakan corak bi al-ma’tsur adalah
1.      Jami al bayan fi tafsir Al-Qur’an, karya Ath-thabari(w.310 H)
2.      Ma’alim at-tanzil (w.516 H)
3.      Tafsir Al-Qur’an Al-Azim, karya Ibnu Katsir( w 774 H)
4.      Ad-Durr Al Ma’tsur fi Tafsir bi Al Ma’tsur, karya As-Suyuthi( w 911 H)

B.     Tafsir bi Ar-Ra’yi
            Adalah menafsirkan dengan ijtihad yang mana mufasir dibantu dengan asbab an nuzul, nasikh mansukh dan lainnya. Salah satu pemicu munculnya metode ini adalah semakin majunya keilmuan islam yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya ulama’, aneka warna metode penafsiran, dan pakar di bidang masing-masing. Akibatnya kary tafsir diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Contohnya: Imam Az-Zamakhsyari menekankan pada telaah balaghahnya. Imam Al Qurthubi menekankan pada hukum syara’. Imam An-Nasafi menekankan pada keistimewaan bahasa.[6] Tanpa perlu pengamatan yang mendalam tampak kepada kita bahwa al Zamakhsyari memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional. Kemudian penafsiran itu didukungnya dengan firman Allah, setelah itu dia mengemukakan riwayat atau pendapat ulama.
            Al zamakhsyari tidak terikat oleh riwayat. Dengn kata lain, kalau ada riwayat yang menjelaskan tentang hal itu, maka dipakainya, tapi jika tidak ada, di tetap melakukan penafsiranya. Jadi, didalam tafsir bi ra’yi yang menggunakan metode analitis ini para mufassir relative memperoleh kebebasan, sehingga mereka tampak agak lebih otonom berkreasi dalam menggunakan interpretasi terhadap ayat-ayat Al Qur’an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh penafsiran yang mu’tabar[7]
            Ada tafsir bi ar-Ra’yi yang dapat diterima(maqbul) dan ada tafsir yang ditolak(mardud). Tafsir ini dapat diterima selama mufasirnya menghindari hal berikut:
1.      Memaksakan diri untuk mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat akan ia tidak memenuhi syarat untuk itu
2.      Mencoba menafsirkan ayat yang maknanya hanya diketahui Allah semata
3.      Meafsirkan ayat dengan hawa nafsu yang mana menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata karena persepsinya
4.      Menafsirkan menurut paham yang salah dengan menjadikan madzhab itu sebagai dasar penafsirannya
5.      Menafsirkan dengan memastikan bahwa tafsirannya demikian…tanpa adaya dalil
            Karya bi ar-Ra’yi yang dipercaya:
1.      Mafatih l-Ghaib karya Fakhr Ar-Razi
2.      Lubab At-Ta’wil fi Ma’ani At-Tanzil karya Al-Khazin
C.     Tafsir Sufistik
            Dampak dari kemajuan islam dan peradaban islam muncullah ilmu tasawuf. Terdapat dua aliran tasawuf yang mewarnai penafsiran Al-Qur’an, yaitu tasawuf teoritis dan praktis.
            Tasawuf teoritis mengkaji dan menafsirkan Al-Qur’an dengan teori-teori mereka. Mereka menakwilkan ayat dengan cara yang tidak benar. Mereka juga menjelaskan dengan penjelasan yang menyimpang yang telah idukung dengan dalil-dalil serta terbukti kebenarannya dari sudut pandang bahasa.
            Tasawuf praktis menakwilkan Al-Qur’an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh orang-orang yang sedang suluk. Corak ini sudah ada sejak Nabi sejak turunnya Al-Qur’an. Para sahabatpun banyak yng menggunakan tafsir ini.
            Diantara kitab tafsir sufistik:
1.      Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim karya Imam At-Tsauri
2.      Haqaiq At-Tafsir karya Al-Allamah A-Sulami
D.    Tafsir Fiqih
            Bersamaan dengan tafsir bi al-Ma’tsur lahirlah tafsir Fiqih. Hal ini karena adanya kemuskilan dalam memahami Al-Qur’an, para sahabat langsung bertanya pada Nabi dan beliau menjawab dan ketika Nabi wafat mereka melakukan ijtihad. Tafsir fiqih dengan berkembangnya ijtihad. Pada awalnya penafsiran fiqih lepas dari motivasi-motivasi negatif hingga munculnya madzhab-madzhab yang berbeda-beda. Setelah munculnya perbedaan madzhab tersebut kaum muslimin dihadapkan dengan perbedaan penafsiran dimana mereka yang fanatik dengan salah satu madzhab tersebut maka mereka menafsirkan Al-Qur’an dengan kecenderungan pada madzhab tersebut. Karena perbedaan tersebut muncullah kitab tafsir dari berbagai kalangan.[8]kitab-kitab tafsir yang menekankan pada fiqih banyak dikritik karena penulisannya terlalu menekankan pada madzhabnya, sehingga menurut Muhammad Abduh,” Madzhab menjadi dasar dan Al Qur’an digunakan untuk mendukungnya.”dengan kata lain Al-Qur’an dijadikan pembenaran madzhab bukan dijadikan untuk memperoleh kebenaran.[9]
E.     Tafsir Falsafi
            Dengan berkembangnya kebudayaan dan pengetahuan umat islam pada masa dinasti Abbasiyah munculnya penerjemahan buku-buku asing kedalam bahasa arab. Salah satunya adalah buku-buku filsafat yang pada gilirannya dikonsumsi oleh umat islam. Menyikapi hal ini umat islam tebagi menjadi dua golongan.
            Pertama, mereka yang menolak imu-ilmu yang bersumber dari buku karangan fisuf karena menganggapnya bertentangan dengan akidah dan agama. Mereka menolak dan menyerang paham-paham yang ada didalamnya, mengharamkan dan mejauhkannya dari umat islam. Diantaranya Al Ghazali dan Al Fakr Ar Razi.
            Kedua, golongan yang mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan menerimanya selama tidak bertentangan dengan norma-norma islam. Mereka mencoba untuk memadukn Al Qur’an denga filsafat. DR. Adz-Dzahabi berkata “ kami tidak pernah mendengar ada seorang filsuf yang mengarang satu kiab tafsir Al Qur’an secara lengkap. Yang kami temukan hanyalah sebagian pemahaman mereka terhadap Al Qur’an  yang berpencar-pencar dalam buku filsafat mereka.
F.      Tafsir Ilmi
            Al Qur’an mendorong umat islam untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan dan medorongnya mengamati fenomen alam. Allah mendorong kit agar melihat ayat  kauniyah disamping ayat-ayat qur’aniyah. Keberadaan ayat-ayat yang memiliki ketelitian redaksi mengindikasikan bahwa ayat-ayat seperti ini ditujukan bagi kelompok tertentu yang suka berfikir secara mendalam. Merkalah yang dibebeni untuk menyingkapnya kerena hanya merka yang mampu melakukannya. Dengan semangt ini bermuncullah sebagian mufasir yang menafsirkan ayat-ayat khauniyah dengan bertolak dari profersi pokok bahasa kapasitas keilmuan yang mereka miliki dan hasil pengamatan langsung fenomena-fenomena alam. Namun, mereka membaca sendiri pada penjelasan ayat per ayat secara persial tanpa menyertakan ayat-ayat yang memiliki tema serupa.
            Diantara ulama tafsir yang memperdalam tafsir ilmi adalah :
1.      Imam Fakh Ar-Razi dalam tafsir Al-Kabir
2.      Imam Al-Ghazali dalam Ilya Ulumuddin dan Jawahir Al-Qur’an
3.      Imam As-Suyuthi dalam Al-Itqon
Tafsir Adabi Ijima’i
Tafsir itu berupaya menyingkapkan keindahan bahasa al-Qurr’an dan mu’jiza-mu’jizatnya menjelaskan makna dan maksud-maksudnya memperlihatkan aturan-aturan Al-Qur’an tentang kemasyarakatan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi umat islam secara khusus dan umat lainnya secara khusus. Corak tafsir ini berupaya bengimpromikan antara Al-Qur’an dan teori-teori pengetahuan yang falid. Corak ini mengingatkan manusia bahwa Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang abadi yang sanggup menyetir perkembangan zaman dan keanusiaan. Disamping itu, corak tafsir ini berupatya menjawab keragu-raguan yang dilemparkan musuh menyangkut Al-Qur’an. Corak tafsir ini pun berupaya menghilangkan keraguan mengenai Al-Qur’an dengan mengemukakan berbagai Argumentasi yang kuat.
Siapapun membaca karya tafsir A’dabi-Ijtima’i pasti akan merasakan puas dan mendorongnya merenungi Al-Qur’an. Diantara kitab tafsir A’dabi-Ijtima’i :
a.       Tafsir Al-Manar, karya Rasyid Ridha
b.      Tafsir Al-Maraghi karya Al-Maraghi
c.       Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim karya Syekh Makhmud Syaltut.


                            II.            Kelebihan dan Kekurangan tafsir  tahlily
1.      Kelebihan
·         Ruang lingkup yang luas. Ahli bahasa mempunyai peluang yang luas untuk menafsirkan Al-Qur’an dari pemahaman bahasa
·         Memuat berbagai ide. Memberikan kesempatan untuk para mufasir untuk mencurahkan ide-ide dan gagasan dalam menafsirkan Al Qur’an secara luas
2.      Kekurangan
·         Menjadikan petunjuk Al-Qur’an yang persil atau berpecah-pecah
·         Melahirkan penafsiran yang subjektif
·         Masuk pemikiran israiliat
            Kesimpulan
            Metode tafsir tahlili memang secara tuntas membahas seluruh isi Al-Qur’an akan tetapi enafsirannya terpisah-pisah. Tafsir Tahlili menafsirkan daari ayat ke ayat atau surat ke surat, jadi penafsiranna secara tuntas.


[1] Quraish shihab, Kaidah Tafsir,hlm.378
[2] Ibid.hlm 378
[3] Abdul Hayy Al Farmawi,Dirasah Manhajiyah Maudhuiyyah,hlm.23-24
[4] Nashiruddin Baidan.Metode Penafsirn  Al-Qur’an.pustaka eljar. Jogja.hlm 32
[5] Adang Kuswaya.Metode Tafsir Tradisional.STAIN Salatiga press.2009.hlm54
[6] Ibid.hlm 26
[7] Nashirudin.hlm 50
[8] Abu Hayy Al Farmawi.hlm 32
[9] Quraish shihab.hlm 379

PERKEMBANGAN TAFSIR DI INDONESIA ABAD  XVI-XIX M Husain Imaduddin Siti Robikah Pendahuluan Pusat studi Islam di Asia Tenggara dan k...