TAFSIR TAHLILI
Siti Robikah
Pendahuluan
Mengingat
Al-Qur’an dengan keajaibannya yang tidak akan habis dan kecintaan kepadanya
tidak pernah lapuk oleh zaman, adalah sesuatu yang dapat dipahami jika terdapat
ragam metode dalam menafsirkan Al-Qur’an. Kitab-kitab tafsir yang ada sekarang
merupakan indikasi kuat yang memperlihatkan perhatian para ulama’ untuk
menjelaskan ungkapan-ungkapan dalam Al-Qur’an.
Harus diakui bahwa
metode penafsiran yang ada atau dikembangkan selama ini memiliki keistimewaan
dan kelemahannya. Masing-masing dapat digunakan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai.
Secara umum
dikenal empat macam metode dalam penafsiran, yaitu:
1.
Tahlily ( Analisis)
2.
Ijmaly (Global)
3.
Muqarin(perbandingan)
4.
Maudhu’i(tematik)[1]
Inilah metode-metode yang digunakan mufasir untuk menafsirkan Al-
Qur’an.
I.
METODE TALILY
Metode ini berusaha untuk
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai seginya, sesuai dengan
pandangan, dan keinginan mufasirnya yang dihidangkan secara runtut sesuai
dengan runtutan ayat dalam mushaf. [2]
Metode tahlily berarti menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh
maksudnya, dimulai dari uraian makna kosakata, makna kalimat, maksut setiap
ungkapan, kaitan antar pemisah ( munasabah), dengan bantuan asbab an-nuzul,
riwayat-riwayat dari nabi, sahabat,dan tabi’in. [3]
Menurut Malik bin Nabi bahwa tujuan
dari metode penafsiran ini adalah untuk
meletakkan dasar- dasar rasional bagi pemahaman dan pembuktian kemukjizatan Al-Qur’an. Kritik ini dapat diterima
jika yang dimaksut adalah tahap awal dari lahirnya metode ini, karena dalam
kenyataannya hal tersebut tidak selalu ditemukan kecuali pada tafsir tahlily
yang bercorak kebahasaan.
Para Mufasir berusaha menjelaskan
makna yang terkandung didalam ayat-ayat Al-Qur’an secara komprehensif dan
menyeluruh baik itu bi al-ma’tsur dan bi al- ra’yi. Dalam penafsiran ini para
mufasir menafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat dan juga menjelaskan
tentang asbab an-Nuzul dalam ayat yang ditafsirkan. [4]
Dalam menafsirkan dengan metode
tahlili , mufasir memberikan perhatian penuh tehadp ayat yag ditafsirkannya
guna mendapat makna yang benar pada setiap ayatnya. Azyumardi Azra, editor
dalam bukunya Sejarah dan Ulum Al Qur’an memaparkan cara yang biasa ditempuh dalam
metode ini.
a.
Menjelaskan munasabah dari ayat atu ke ayat lain atau dari surat
satu ke surat lain.
b.
Menjelaskan Asbab An Nuzul
c.
Menganalisis mufrodat dan lafadz dari sudut pandang bahasa arab
d.
Memaparkan maksut ayat secara umum dan kandungannya
e.
Menerangkan unsur-unsur yang mengandung keindahan balaghah
f.
Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang
dijelaskan, khususnya ayat ahkam
g.
Menerangkan makna dan maksut syara’ yang terkandung dalam
ayat yang bersangkutan[5]
Para mufasir tidak seragam dalam
mengoperasionalkan metode ini. Ada yang menguraikannya secara ringkas, ada pula
yang secara terperinci. Macam-macam tafsir dibawah ini menunjukkan keberagaman
tersebut:
1.
Tafsir bi Al-Ma’tsur
2.
Tafsir bi Ar-Ra’yi
3.
Tafsir Ash- Shufi
4.
Tafsir Al-Fiqhi
5.
Tafsir Al-Falsafi
6.
Tafsir Al-Ilmi
7.
Tafsir Al-Adabi Al-Ijtima
A.
Tafsir bi Al-Ma’tsur
Adalah penjelasan Al-Qur’an sendiri
dari Rasulullah kepada para sahabat, dari sahabatnya dengan ijtihad dan dari
para tabi’in juga berdasarkan ijtihadnya.
Ada
dua fase dalam metode tafsir tahlily ini:
Pertama, fase periwayatan dengan
lisan. Dalam fase ini sahabat menukil riwayat penafsiran dari nabi dan
menyampaikan kepada sahabat lainnya. Para Tabi’in menukil kepada sahabat dengan
metode menukil sanad yang teliti dan seksama. Fase ini berakhir karena
datangnya fase kedua.
Kedua, fase pengodifikasian. Riwayat
penafsiran fase pertama mulai dibukukan. Pada mulanya riwayat-riwayat
penafsiran ini merupakan salah satu bab dari bab-bab kitab hadis yang kemudian
berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu. Sejak itu ditulislah kitab-kitab tafsir
yang memuat tafsir bi al-ma’tsur. Diantara kitab-kitab bil al ma’tsur yang ada,
tafsir ath-thabarilah yang paling baik sebab menuturkan banyak pendapat
penafsiran lalu menyeleksinya.
Diantara kitab yang menggunakan
corak bi al-ma’tsur adalah
1.
Jami al bayan fi tafsir Al-Qur’an, karya Ath-thabari(w.310 H)
2.
Ma’alim at-tanzil (w.516 H)
3.
Tafsir Al-Qur’an Al-Azim, karya Ibnu Katsir( w 774 H)
4.
Ad-Durr Al Ma’tsur fi Tafsir bi Al Ma’tsur, karya As-Suyuthi( w 911
H)
B.
Tafsir bi Ar-Ra’yi
Adalah menafsirkan dengan ijtihad
yang mana mufasir dibantu dengan asbab an nuzul, nasikh mansukh dan lainnya.
Salah satu pemicu munculnya metode ini adalah semakin majunya keilmuan islam
yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya ulama’, aneka
warna metode penafsiran, dan pakar di bidang masing-masing. Akibatnya kary tafsir
diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Contohnya: Imam
Az-Zamakhsyari menekankan pada telaah balaghahnya. Imam Al Qurthubi menekankan
pada hukum syara’. Imam An-Nasafi menekankan pada keistimewaan bahasa.[6]
Tanpa perlu pengamatan yang mendalam tampak kepada kita bahwa al Zamakhsyari
memulai penafsirannya dengan mengemukakan pemikiran rasional. Kemudian
penafsiran itu didukungnya dengan firman Allah, setelah itu dia mengemukakan
riwayat atau pendapat ulama.
Al zamakhsyari tidak terikat oleh
riwayat. Dengn kata lain, kalau ada riwayat yang menjelaskan tentang hal itu,
maka dipakainya, tapi jika tidak ada, di tetap melakukan penafsiranya. Jadi,
didalam tafsir bi ra’yi yang menggunakan metode analitis ini para mufassir
relative memperoleh kebebasan, sehingga mereka tampak agak lebih otonom
berkreasi dalam menggunakan interpretasi terhadap ayat-ayat Al Qur’an selama
masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh penafsiran yang mu’tabar[7]
Ada tafsir bi ar-Ra’yi yang dapat
diterima(maqbul) dan ada tafsir yang ditolak(mardud). Tafsir ini dapat diterima
selama mufasirnya menghindari hal berikut:
1.
Memaksakan diri untuk mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada
suatu ayat akan ia tidak memenuhi syarat untuk itu
2.
Mencoba menafsirkan ayat yang maknanya hanya diketahui Allah semata
3.
Meafsirkan ayat dengan hawa nafsu yang mana menilai bahwa sesuatu
itu baik semata-mata karena persepsinya
4.
Menafsirkan menurut paham yang salah dengan menjadikan madzhab itu
sebagai dasar penafsirannya
5.
Menafsirkan dengan memastikan bahwa tafsirannya demikian…tanpa
adaya dalil
Karya bi ar-Ra’yi yang dipercaya:
1.
Mafatih l-Ghaib karya Fakhr Ar-Razi
2.
Lubab At-Ta’wil fi Ma’ani At-Tanzil karya Al-Khazin
C.
Tafsir Sufistik
Dampak dari kemajuan islam dan
peradaban islam muncullah ilmu tasawuf. Terdapat dua aliran tasawuf yang
mewarnai penafsiran Al-Qur’an, yaitu tasawuf teoritis dan praktis.
Tasawuf teoritis mengkaji dan
menafsirkan Al-Qur’an dengan teori-teori mereka. Mereka menakwilkan ayat dengan
cara yang tidak benar. Mereka juga menjelaskan dengan penjelasan yang
menyimpang yang telah idukung dengan dalil-dalil serta terbukti kebenarannya
dari sudut pandang bahasa.
Tasawuf praktis menakwilkan
Al-Qur’an dengan penjelasan yang berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni
berupa isyarat yang hanya dapat ditangkap oleh orang-orang yang sedang suluk.
Corak ini sudah ada sejak Nabi sejak turunnya Al-Qur’an. Para sahabatpun banyak
yng menggunakan tafsir ini.
Diantara kitab tafsir sufistik:
1.
Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim karya Imam At-Tsauri
2.
Haqaiq At-Tafsir karya Al-Allamah A-Sulami
D.
Tafsir Fiqih
Bersamaan dengan tafsir bi
al-Ma’tsur lahirlah tafsir Fiqih. Hal ini karena adanya kemuskilan dalam
memahami Al-Qur’an, para sahabat langsung bertanya pada Nabi dan beliau
menjawab dan ketika Nabi wafat mereka melakukan ijtihad. Tafsir fiqih dengan
berkembangnya ijtihad. Pada awalnya penafsiran fiqih lepas dari
motivasi-motivasi negatif hingga munculnya madzhab-madzhab yang berbeda-beda. Setelah
munculnya perbedaan madzhab tersebut kaum muslimin dihadapkan dengan perbedaan
penafsiran dimana mereka yang fanatik dengan salah satu madzhab tersebut maka
mereka menafsirkan Al-Qur’an dengan kecenderungan pada madzhab tersebut. Karena
perbedaan tersebut muncullah kitab tafsir dari berbagai kalangan.[8]kitab-kitab
tafsir yang menekankan pada fiqih banyak dikritik karena penulisannya terlalu
menekankan pada madzhabnya, sehingga menurut Muhammad Abduh,” Madzhab menjadi
dasar dan Al Qur’an digunakan untuk mendukungnya.”dengan kata lain Al-Qur’an
dijadikan pembenaran madzhab bukan dijadikan untuk memperoleh kebenaran.[9]
E.
Tafsir Falsafi
Dengan berkembangnya kebudayaan dan
pengetahuan umat islam pada masa dinasti Abbasiyah munculnya penerjemahan
buku-buku asing kedalam bahasa arab. Salah satunya adalah buku-buku filsafat
yang pada gilirannya dikonsumsi oleh umat islam. Menyikapi hal ini umat islam
tebagi menjadi dua golongan.
Pertama, mereka yang menolak
imu-ilmu yang bersumber dari buku karangan fisuf karena menganggapnya
bertentangan dengan akidah dan agama. Mereka menolak dan menyerang paham-paham
yang ada didalamnya, mengharamkan dan mejauhkannya dari umat islam. Diantaranya
Al Ghazali dan Al Fakr Ar Razi.
Kedua, golongan yang mengagumi
filsafat. Mereka menekuni dan menerimanya selama tidak bertentangan dengan
norma-norma islam. Mereka mencoba untuk memadukn Al Qur’an denga filsafat. DR.
Adz-Dzahabi berkata “ kami tidak pernah mendengar ada seorang filsuf yang
mengarang satu kiab tafsir Al Qur’an secara lengkap. Yang kami temukan hanyalah
sebagian pemahaman mereka terhadap Al Qur’an yang berpencar-pencar dalam buku filsafat
mereka.
F.
Tafsir Ilmi
Al Qur’an
mendorong umat islam untuk memerdekakan akal dari belenggu keraguan dan
medorongnya mengamati fenomen alam. Allah mendorong kit agar melihat ayat kauniyah disamping ayat-ayat qur’aniyah. Keberadaan
ayat-ayat yang memiliki ketelitian redaksi mengindikasikan bahwa ayat-ayat
seperti ini ditujukan bagi kelompok tertentu yang suka berfikir secara
mendalam. Merkalah yang dibebeni untuk menyingkapnya kerena hanya merka yang
mampu melakukannya. Dengan semangt ini bermuncullah sebagian mufasir yang
menafsirkan ayat-ayat khauniyah dengan bertolak dari profersi pokok bahasa
kapasitas keilmuan yang mereka miliki dan hasil pengamatan langsung
fenomena-fenomena alam. Namun, mereka membaca sendiri pada penjelasan ayat per
ayat secara persial tanpa menyertakan ayat-ayat yang memiliki tema serupa.
Diantara ulama
tafsir yang memperdalam tafsir ilmi adalah :
1.
Imam Fakh Ar-Razi dalam tafsir Al-Kabir
2.
Imam Al-Ghazali dalam Ilya Ulumuddin dan Jawahir
Al-Qur’an
3.
Imam As-Suyuthi dalam Al-Itqon
Tafsir Adabi Ijima’i
Tafsir itu berupaya menyingkapkan keindahan bahasa al-Qurr’an dan
mu’jiza-mu’jizatnya menjelaskan makna dan maksud-maksudnya memperlihatkan
aturan-aturan Al-Qur’an tentang kemasyarakatan dan mengatasi permasalahan yang
dihadapi umat islam secara khusus dan umat lainnya secara khusus. Corak tafsir
ini berupaya bengimpromikan antara Al-Qur’an dan teori-teori pengetahuan yang
falid. Corak ini mengingatkan manusia bahwa Al-Qur’an merupakan kitab Allah
yang abadi yang sanggup menyetir perkembangan zaman dan keanusiaan. Disamping
itu, corak tafsir ini berupatya menjawab keragu-raguan yang dilemparkan musuh
menyangkut Al-Qur’an. Corak tafsir ini pun berupaya menghilangkan keraguan
mengenai Al-Qur’an dengan mengemukakan berbagai Argumentasi yang kuat.
Siapapun membaca karya tafsir A’dabi-Ijtima’i pasti akan merasakan
puas dan mendorongnya merenungi Al-Qur’an. Diantara kitab tafsir
A’dabi-Ijtima’i :
a.
Tafsir Al-Manar, karya Rasyid Ridha
b.
Tafsir Al-Maraghi karya Al-Maraghi
II.
Kelebihan dan Kekurangan tafsir
tahlily
1.
Kelebihan
·
Ruang lingkup yang luas. Ahli bahasa mempunyai peluang yang luas
untuk menafsirkan Al-Qur’an dari pemahaman bahasa
·
Memuat berbagai ide. Memberikan kesempatan untuk para mufasir untuk
mencurahkan ide-ide dan gagasan dalam menafsirkan Al Qur’an secara luas
2.
Kekurangan
·
Menjadikan petunjuk Al-Qur’an yang persil atau berpecah-pecah
·
Melahirkan penafsiran yang subjektif
·
Masuk pemikiran israiliat
Kesimpulan
Metode tafsir
tahlili memang secara tuntas membahas seluruh isi Al-Qur’an akan tetapi
enafsirannya terpisah-pisah. Tafsir Tahlili menafsirkan daari ayat ke ayat atau
surat ke surat, jadi penafsiranna secara tuntas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar