Kamis, 17 Agustus 2017

PERKEMBANGAN TAFSIR DI INDONESIA ABAD  XVI-XIX M
Husain Imaduddin
Siti Robikah
Pendahuluan
Pusat studi Islam di Asia Tenggara dan khususnya di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia telah memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Pada abad ke-16, bahkan mugkin sebelumnya, di wilayah tersebut telah ada para Ulama yang tulisannya telah didistribusikan secara luas. Menjelang abad ke-12, di Aceh dan Palembang Pulau Sumatra, di Jawa Timur dan di Goa Sulawesi sudah berkembang pengajaran Islam. Pada tahun 1600-1942 – masa penjajahan Belanda – keilmuan Umat Islam terus berlangsung dan memberikan identitas kepada umat Islam di wilayah tersebut.[1]
Setelah Islam masuk ke Aceh pada tahun 1290 M sekitar abad ke-13, pengajaran Islam telah lahir dan berkembang, terutama setelah berdirinya kerajaan Pasai, pada saat itu banyak tokoh yang mendirikan surau sebagai majelis dan tempat belajar Al Quran, seperti Tengku Cot Mangpalam, Tengku di Geuredong dan yang lainnya. Awal abad ke-17M surau-surau yang didirikan tokoh, mengalami kemajuaan. Muncul banyak Ulama terkenal pada saat itu, seperti Nuruddin Al-Raniri, Ahmad Khatib Langin, Samsuddin Sumatrani, Hamzah Fansuri, ‘Abd al-Rauf al-Singkili, dan Burhanuddin.[2]
Selain faktor berkembangnya penyebaran Islam di Nusantara proses akomodasi Islam yang berlangsung secara berbeda-beda di tempat yang berbeda-beda dan ditentukan oleh cara pendekatan para penyiar Islam yang berbeda dalam memperkenalkan agama ini, bagaimana penyiar Islam memahami tradisi lokal agar strategi islamisasi yang bersifat asimilatif dapat terlaksana.
Dalam kaitannya dengan konteks politik, Nusantara terdiri dari kerajaan-kerajaan dengan penguasa lokal yang berperan penting dalam proses islamisasi dan penerapan-penerapan ajaran agama Islam di Nusantara. Meskipun demikian bukan berarti tidak ada hambatan dalam proses Islamisai, ada banyak faktor yang telah menjadi kendala. Seperti konflik panjang yang terjadi di Mataram (abad ke 17[3]), kekuasaan kolonial juga menjadi salah satu kekuatan yang berusaha meghalangi  penyebaran Islam. Di daerah Tipanuli kepala desa yang telah masuk Islam dipecat oleh residen. Peran pemerintah kolonial sangat besar dalam menghambat penyebaran ajaran Islam. Sebaliknya, berbagai kerajaan Islam dalam banyak masalah, memberikan dorongan dalam proses islamisasi. Pengaruh struktural politik kerajaan sangat menentukan agama Islam untuk kemudian berkembang dan disosialisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[4]
Keadaan pendidikan Islam pada saat itu adalah pendidikan yang menjunjung tinggi orang yang berilmu pengetahuan. Pengajaran yang diberikan adalah pengetahuan agama Islam. Lembaga yang memberikan pendidikan pada saat itu adalah Langgar atau Pesantren. Pengajaran di langgar merupakan pengajaran pemula, pada awalnya mereka diberikan pelajaran huruf Arab kemudian mengaji ayat-ayat Al Quran. Sistem pengajiannya Individual, yaitu murid meniru contoh dari seorang Guru. Pembelajaran biasanya dilakukan pada waktu pagi hari dan malam hari ba’da Magrib, tidak ada pungutan biaya.[5]
            Muhammad Yunus menerangkan, sistem pengajaran Islam pertama di Indonesia adalah diajarkanya Al-Quran kepada setiap Muslim sejak kecil melalui kegiatan yang dinamai “Pengajaran Al-Quran” yang bertempat di Suru, Mesjid, dan Rumah-rumah kyai. Yunus menegaskan bahwa Al-Quran merupakan pendidikan pertama yang diberikan kepada seorang Muslim, sebelum meperkenalkannya dengan ajaran Islam yang lainnya seperti, Fiqih, Tauhid, dan lain sebagainya.
 Pengajaran Al Quran semakin nyata pada abad-abad selanjutnya, mengutip Islah Gusmain, Zamakhsyari menjelaskan pada 1847,  meski sistem pangajaran Al Quran belum dinamis namun pengajaran Al Quran telah terjadi di setiap keluarga-keluarga. Jenjang paling dasar dilakukan oleh pihak keluarga di rumah, sejak anak-anaknya berumur 5 tahun, anak-anak dibiasakan untuk menghafal ayat-ayat pendek. Pada usia 7 atau 8 tahun, anak mulai diperkenalkan cara menghafal huruf Arab sampai mampu membaca Al Quran. Bagi anak yang orang tua dan saudaranya tidak bisa mengajarkan Al Quran, pendidikannya diserahkan pada tetangga yang mampu.[6] Uraian tentang pertumbuhan pengajaran Al Quran di atas menunjukan bahwa sejak semula uamat Islam mempunyai perhatian terhadap Al Quran,  dan Al Quran mempunyai tempat kedudukan penting, dimana Al Quran sebagai kitab suci umat Islam.
Perkembangan Tafsir Abad XVI-XIX M
Sejalan dengan berkembangnya pengajaran Al-Quran, pada abad ke-16 pula telah muncul upaya penulisan tafsir Al Quran, bukti penafsiran  paling awal dan teknik penulisannyapun hanya pada surat dan ayat tertentu yaitu tafsir surah Al-Kahfi [18]:9 yang tidak diketahui siapa penulisnya, ditulis dengan terjemah dan komentar berbahasa Melayu, dan banyak merujuk dari tafsir Al-Baghawi dan tafsir Al-Khazin, dan diduga tafsir ini ditulis pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Manusripnya di bawa ke Belanda oleh seorang ahli bahasa Arab dari Belanda.[7]
Tafsir Al Quran pada masa ini lebih dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dibandingkan dengan periode klasik yang mana pada masa ini sudah adanya buku pegangan yang lebih representatif  dari ahli tafsir yang kompeten dan profesional. Berpijak pada kenyataan tersebut, tidak salah jika disimpulkan bahwa tafsir di Indonesia baru dimulai secara faktual pada periode ini.[8]
Untuk lebih jelasnya mengenai penafsiran periode ini dapat dilihat dari bentuk, metode dan corak penafsiran.
Bentuk Tafsir[9]
Berdasarkan data yang disampaikan kepada umat, penafsiran disampaikan berbentuk ar ra’yu (pemikiran), sementara al ma’tsur tidak begitu populer atau dapat dikatakan bahwa tidak masuk ke Indonesia pada masa itu, padahlm jika dilihat di daerah Timur Tengah telah berkembang secara pesat penafsiran baik dalam bentuk al ma’tsur maupun ar ra’yu. Seperti contoh kitan tafsir Al Jalalain yang ditulis oleh dua Jalaluddin yaitu Jalaluddin Al Mahlmli dan Jalaluddin As Suyuti.
Diantara upaya yang dilakukan oleh penafsir pada periode ini adalah membaca dan memahami tafsir yang datang dari Timur Tengah yaitu tafsir Jalalain. Jika dilihat dari pembacaanya terhadap tafsir pada masa ini adalah tafsir Jalalain, maka dapat disimpulkan bahwa tafsir pada periode ini yang amat berkembang adalah tafsir ar ra’yu dikarenakan kitab tafsir Jalalain ditafsirkan berdasarkan ra’yu.
Jika melihat langsung dalam kitab Jalalain maka terlihat bahwa penulis menjelaskan permulaan penafsiran dengan menggambarkan suatu perbedaan pendapat di kalangan umat Islam yang terjadi pada masa itu. Sebagai contoh perdebatan mengenai harta rampasan perang yang mana belum dapat mereka selesaikan dan mereka bertanya pada Nabi Muhammad yang akhirnya turunlah surat Al Anfal untuk menyelesaikannya.
Dalam halaman tersebut terlihat jelas bahwa Penulis kitab lebih menggunakan rasional dibandingkan dengan riwayat. Riwayat hanya sebatas legitimasi terhadap pemikiran atau ide yang dikemukakannya tidak sebagai titik tolak penafsiran. Fakta ini membuktikan bahwa yang berkembang pada eriode ini adalah ar ra’yu. Hlm tersebut dikarenakan beberapa faktor, yaitu
a.    Kondisi Mufasir
Kondisi Mufasir yang dimaksut adalah latar belakang keahlian Ulama yang memperkenalkan Islam ke Indonesia, baik yag datang dari luar Indonesia seperti Arab maupun dari pribumi sendiri. Berdasarkan fakta yang ada tidak dijumpai diantara mereka yang mempunyai spesialisasi dalam bidang hadis ataupun riwayat. Tetapi, mereka lebih cenderung pada tarekat atau tasawuf.
Berdasarkan hal tersebut, maka Ulama mengajarkan tafsir tidak dengan riwayat. Mereka mengajarkan tafsir dengan ar ra’yu agar tidak terlalu sukar dalam mengajak umat untuk berfiikir rasional sehingga sejalan dengan apa yang mereka ingin kembagkan. Dalam hlm ini, jika pada periode ini terdapat Ulama ahli dalam bidang riwayat tentu saja ada peninggalan (tafsir) yag mengacu pada bentuk riwayat. Namun tidak ditemukan data tersebut, sehingga tidak salah jika disimpulkan Ulama pada masa ini tidak memiliki spesialisasi dalam bidang hadis.
Hal ini terjadi dikarenakan tafsir bi ma’tsur membutuhkan ketelitian dan ketekunan yang luar biasa dalam menghimpun berbagai informasi mengenai ayat yang ditafsirkan. Selain itu penafsir bi ma’tsur tidak boleh terkecoh dengan riwayat yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena sering ditemukan penafsirran yang keluar dari kandungan ayat. Karena persyaratan bagi tafsir al ma’tsur  amat berat, maka logis jika tidak banyak dari Ulama yang menekuni bidang tersebut.
b.   Kondisi Umat
Kondisi kedua yang menyebabkan kurang berkembangnya tafsir al ma’tsur adalah kondisi Bangsa Indonesia yang mana penduduknya belum begitu mahir dalam berbahasa Arab dan sampai sekarang boleh disebut bahasa tersebut masih menjadi momok bagi penduduk Indonesia. Bagaimana mungkin memperkenalkan tafsir dengan bahasa Arab sedangkan penerima tidak memahami bahasa tersebut. Tafsir yang diperkenalkan di Indonesia diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa daerah yang dipahami oleh mereka. Tafsir yang telah diterjemahkan dalam bahasa lain telah menjadi tafsir ar ra’yu karena telah bercampur dengan pemikiran penerjemah.
c.    Letak Geografis
Kepulauan Indonesia yang jauh dari lahirnya Islam dapat menjadi faktor terkendalanya ajaran sampai ke negeri ini. Membutuhkan kekuatan baik fisik maupun keilmuan, dikarenakan perjalanan yang melewati jalur laut (berlayar). Maka banyak hlm yang harus dipersiapkan untuk menyebarkan Islam ke Indonesia.
Dari hlm tersebut dapat dilihat jika tafsir al ma’tsur tidak berkembang di Indonesia. Tafsir bil ma’tsur masuk ke Indonesia pada abad ke 19-20 M setelah banyak pesantren yang dibawah asuhan para kyai di jawa ataupun buya di Sumatra.
Pada abad ke-19 pangajaran Al-Quran ini semakin berkembang di beberapa wilayah di Nusantara misalnya Sumatra (Aceh, Pandang Panjang, dll), Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, bahkan Sulawesi dan Kalimantan.[10] Prof Haidar Putra Daulya memberikan penjelasan yang sama. Pendidikan Islam pertama di Inodesia adalah Al Quran yang diajarkan di Masjid, dan dirumah-rumah Ulama. Yang dimulai dari kontak-kontak pribadi maupaun kelompok antara guru dan pesrta didik.[11]
Satu abad kemudian, setelah muncul tafsiran parsial pada surah Al-Kahfi yang tidak diketahui siapa penulisnya. Muncul kembali tafsir tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh ‘Abd al-Ra’ûf al-Singkili ditulis secra lengkap 30 juz, namun tidak diketahui pasti kapan tahun penulisannya karna banyaknya perdebatan, namun beberapa sumber memperkirakan, ditulis pada tahun1675.
Memasuki awal abad ke-19, penulisan tafsir di Indonesia tidak lagi ditemukan seperti hlmnya yang terjadi pada abad-abad sebelumnya, hlm tersebut terjadi karna adanya beberapa faktor, diantranya pengkajian tafsir Al Quran selama berabad-abad lamanya hanya sebatas membca dan memahami kitab yang ada, dan karna adanya tekanan dan penjajahan Belanda yang mencapai puncaknya pada abad tersebut, sehingga mayoritas Ulama mengungsi kepelosok desa dan mendirikan pesantren sebagai tempat pembinaan generasi sekaligus konsentrasi perjuangan. Dan Ulama tidak lagi fokus untuk menulis karya akan tetapi lebih cenderung mengajarkan ajaran Islam yang ada, ataupun karya-karya yang telah ditulis oleh para Ulama sebelumnya.[12]
Dan sekitar abad ke-19 M., lahir kembali sebuah karya tafsir berbahasa Melayu dengan aksara Jawi, dengan judul kitâb Fara’id Al Quran , dan lagi-lagi tafsir ini tidak diketahui siapa pengarangnya, ditulis dengan sangat sederhana karena hanya terdiri dari dua hlmaman dengan huruf kecil dan spasi rangkap. Surah yang menjadi penafsiran dalam tafsiran ini adalah surat An-Nisa [4]; 11 dan 12 berbicara tentang hukum waris sesuai dengan judulnya kitâb Fara’id Al Quran. Keterangan yang diberikannya sederhana, namun lebih dari sekedar terjemah. Karena tidak diketahui dan tidak ada data penulisnya, hal itu menjadi kendala untuk memaparkan lebih jauh tenteng gambaran tafsir tersebut.[13]
            Dan itulah beberapa tafsir yang diketahui lahir pada kerajaan Nusantara, menujukan bahwa perkembangan keilmuan Islam telah diminati dan berekembang di masyarakat Nusantara, meskipun diketahui tidak adanya kepentingan yang melatarbelakangi penulisan tafsir-tafsir tersebut.
Contoh kitab tafsir
Sebagai Seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu, Abdul Rauf Singkel telah banyak melahirkan berbagai karangan dalam berbagai bidang yang beragam, mengutip buku Ensiklopedi (Indonesia dalam Arus Sejarah) sejauh ini tercatat ada 22 karya yang dikarang oleh Abdul Rauf Singkel. Dalam bidang fiqih karya utama Abdul Rauf Singkel mar’at at-Tullab fi TashilMa’rifah al-ahkam asy-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahab (cermin murid untuk memudahkan pengetahuan tentang hukum syariaat yang diarahkan keapada raja) atas perintah sultanah safiatuddin.
Karya penomenal yang dikarang Abdul Rauf Singkel laianya adalah Tafsir Tarjuman al-Mustafid, tafsir al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa melayu, dan merupakan tasir pertama yang ditulis secra lengkap 30 juz. Karna sebab itulah, karyanaya beredar luas di Nusantara-Melayu[14]
Metode, Corak, Pendekatan Tarjuman al-Mustafid karya Abdul Rauf Singkel
Tafsir Tarjuman al-Mustafid. Ditulis oleh Abdul Rauf Singkel (1606-1637). Tafsir ini pertam kali diterbitkan di Istanbul pada tahun 1302 H/ 1884 M dan konon dijadikan bukti persahabatan kerajaan Turki dengan Umat Islam Nusantara, setelah itu, tafsir ini dicetak berulang kali di Istanbul, Makah, Kairo, Bombay, Penang, Singapura, dan terakhir di Jakarta pada tahun 1984. Dengan banyaknya di cekat diberbagai negara, dapat dipastikan bahwa penggunaan tafsir ini banyak dengan penyalinan. Untuk Naskah asli dan cetakan yang pertma yang dicetak di Istanbul sendiri, pernah ditemukan sarjana masyarakat Melayu dan Afrika Selatan, karya ini tersebar di kawasan yang amat luas, termasuk Patani dan Sulu (Filifina Seltan).
            Tafsir Tarjuman al-Mustafid ditulis untuk memenuhi kebutuhan umat Muslim di Nusantara yang pada saat itu belum banyak orang yang mengerti ataupun bisa bahasa Arab. Tafsir Tarjuman al-Mustafid ditulis dalam bahasa Melayu berbentuk tulisan pegon. Tafsir Tarjuman al-Mustafid banyak memberikan manfaat penting dalam memanjukan pemahaman yang lebih baik atas ajaran agma Islam.
            Mengutip dari kumpulan makalah Rosison Anwar. Snouck Horgronce menerangkan tafsir ini merupakan terjemah tafsir al-Baidawi. Namun setelah dilakukan penelitian dengan mengambil juz 30 sebagai sample. Pertama,tafsir Tarjuman al-Mustafid bukan terjemah dari tafsir al-Baidawi, tetapi merupakan terjemah dari tafsir Jalalain. Kedua, meskipun terjemah dari tafsir Jalalain bukan berarti tanpa memuat krativitas Abdul Rauf Singkel. Ketiga, tafsir Tarjuman al-Mustafid tidak selalu mengikuti tafsir Jalalain, terkadang Abdul Rauf Singkel memberikan penafsiran lain.
Dan ini beberapa contohnya:
1)   Dalam menafsirkan kata “mihâd” (QS An-Naba’[78]:6), al-Jalâlain menafsirkan denagn “firâsy” (tempat tidur), sedangkan Abdul Rauf Singkel menafsirkan dengan kata “hamparan”.
2)   Dalam menafsirkan kata “ajwad” (QS An-Naba’[78]:6), al-Jalâlain menafsirkan denagn “laki-laki dan perempuan”, sedangkan Abdul Rauf Singkel menafsirkan dengan kata “berjodoh-jodoh”.
3)   Dalam menafsirkan kata “wahhâja” (QS An-Naba’[78]:6), al-Jalâlain menafsirkan denagn “wiqâra” (menyala dan panas), sedangkan Abdul Rauf Singkel menafsirkan dengan kata “menerangi”.
4)   Dalam menafsirkan kata “ajwad” (QS An-Naba’[78]:6), al-Jalâlain menafsirkan denagn “laki-laki dan perempuan”, sedangkan Abdul Rauf Singkel menafsirkan dengan kata “berjodoh-jodoh”.
Dalam menafsirkan tafsir Tarjuman al-Mustafid ke bahasa Melayu, Abdul Rauf Singkel berusha menjadikannya lebih mudah untuk dipahami Masyarakat Nusantara, misalnya dengan menghilangkan penjelasan-penjelasan makna berdasarkan lingusitik, yang menurutnya dapat menghilangkan perhatian pembaca dari tujuan pokok yang di maksud. Dan juga, Abdul Rauf Singkel tidak menafsirkan dengan panjang lebar yang memang sulit untuk dipahami. Dan bisa kia   simpulkan, bahwa tafsir Tarjuman al-Mustafidmerupakan tafsir denag model tafsir ijmali
Merupakan satu keyataan bahwa Tarjuman al-Mustafid merupakan tafsir pertama yang ditulis secra lengkap dengan bahasa Melayu. Menurut Salman Harun, seperti dikutipnya, telah di temukan sepuluh naskah Tarjuman al-Mustafiddi perpustakaan-perpustakaan dalam dan luar negri, tetapi tidak satupun diantra naskah-naskah tersebut lengkap, dan naskah yang masih agak lengkap berada di Museum Pusat Jakarta, terdiri atas 291 halaman dengan ukuran 29,5 x 20 cm, setiap halamannya terdiri atas 33 baris, tesk ayat di tulis dengan tinta merah di beri harkat,  kemudian diikuti penafsiran ayat yang ditulis denagn tinta hitam. Meskipun ayat tersebut lengkap, tetapi sebagian ayat sudah rusak, kecuali bagian dari lembar surat Nûh sampai akhir tafsir. Teknis penulisannya pun mengikuti tafsir Jalâin ia menafsirkan ayat sesuai dengan susunan Mushaf ‘Utsmânî. Penulisan  yang ringkas dan lugas didorong oleh kepentingan tafsir ini yang dikhususkan bagi pemula dalam memahami ajaran Islam.[15]
Penutup
Pada Abad ini, tafsir mulai mengenal dengan cara tertulis. Menurut beberapa pendapat, Berdasarkan data yang disampaikan kepada umat, penafsiran disampaikan berbentuk ar ra’yu (pemikiran), sementara al ma’tsur tidak begitu populer atau dapat dikatakan bahwa tidak masuk ke Indonesia pada masa itu, padahlm jika dilihat di daerah Timur Tengah telah berkembang secara pesat penafsiran baik dalam bentuk al ma’tsur maupun ar ra’yu. Hal ini dikarenakan mufasir menggunkan tafsir jalalain yang lebih banyak kepada ra’yu.
DAFTAR PUSTAKA

Federspiel, Howard M. 1996. Popular Indonesian Literature of the Quran, terj. Tajul Arifin, (Bandung: MIZAN)
Gusmain,Islam.2013. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermenetika hingga Ideologi, (Yogyakarta: LkiS)
Afiuddin, Sobry Sutikno, Enung K. 2007. Sejarah Pendidikan, (Bandung : Insan Mandiri)
Dholfier,  Zamakhsyari, “Sekolah Al-Quran dan pendidikan Islam di Indonesia”, Jurnal Ulumul Qur’an”
Rohmana,  Jajang A .2014.  Sejrah tafsir Al-Quran di Tatar Sunda, (Jakarta: Mujahid,)
Baidan,Nasruddin. 2003.  perkembangan Tafsir Indonesia, (Tiga Serangaki Pustaka Mandiri)
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Hidakarya Agung, 1984), hlm.34
Daulya,Haidar Putra . 2006. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indoneia, (Jakarta: Kencana)











[1] Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Quran, terj. Tajul Arifin, (Bandung: MIZAN, 1996), hlm. 18
[2] Islam Gusmain, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermenetika hingga Ideologi, (Yogyakarta: LkiS, 2013) hlm.17
[3] https://id.wikipedia.org
[4] Ensikopedia Tematis Dunia Islam, vol.5 (Asia Tengara) hlm. 29-31
[5]Afiuddin, Sobry Sutikno, Enung K, Sejarah Pendidikan, (Bandung : Insan Mandiri, 2007), hlm.45-46
[6] Zamakhsyari Dholfier, “Sekolah Al-Quran dan pendidikan Islam di Indonesia”, Jurnal Ulumul Qur’an”, hlm.88
[7]Jajang A Rohmana, Sejrah tafsir Al-Quran di Tatar Sunda, (Mujahid, Jakarta, 2014) hlm.33-34
[8]Nasruddin Baidan, perkembangan Tafsir Indonesia, (Tiga Serangaki Pustaka Mandiri, 2003), hlm.48

[9]Nasruddin Baidan, perkembangan Tafsir Indonesia, (Tiga Serangaki Pustaka Mandiri, 2003), hlm.79

[10] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Hidakarya Agung, 1984), hlm.34
[11] Haidar Putra Daulya, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indoneia, (Jakarta: Kencana, 2006) hlm.67
[12]Nasruddin Baidan, perkembangan Tafsir Indonesia, (Tiga Serangaki Pustaka Mandiri, 2003), hlm.79
[13] Jajang A Rohmana, Sejarah tafsir Al-Quran di Tatar Sunda, (Mujahid, Jakarta, 2014) hlm.33
[14] Ensiklopedi, Indonesia dalam Arus Sejarah, vol. 3 Kedatangan dan Peradaban Islam, Hal.156
[15]Sekripsi Muhammad Indra Nazarudin, Kajian Tafsir Indonesia Analisis terhdap tafsir Tammsiyyat al-Muslîn Fî Kalâm Rabb al-Alamîn, hal.40-41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERKEMBANGAN TAFSIR DI INDONESIA ABAD  XVI-XIX M Husain Imaduddin Siti Robikah Pendahuluan Pusat studi Islam di Asia Tenggara dan k...