PERKEMBANGAN
TAFSIR DI INDONESIA ABAD XVI-XIX M
Husain Imaduddin
Siti Robikah
Pendahuluan
Pusat
studi Islam di Asia Tenggara dan khususnya di wilayah yang sekarang dikenal
sebagai Indonesia telah memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Pada abad
ke-16, bahkan mugkin sebelumnya, di wilayah tersebut telah ada para Ulama yang
tulisannya telah didistribusikan secara luas. Menjelang abad ke-12, di Aceh dan
Palembang Pulau Sumatra, di Jawa Timur dan di Goa Sulawesi sudah berkembang
pengajaran Islam. Pada tahun 1600-1942 – masa penjajahan Belanda – keilmuan
Umat Islam terus berlangsung dan memberikan identitas kepada umat Islam di
wilayah tersebut.[1]
Setelah
Islam masuk ke Aceh pada tahun 1290 M sekitar abad ke-13, pengajaran Islam
telah lahir dan berkembang, terutama setelah berdirinya kerajaan Pasai, pada
saat itu banyak tokoh yang mendirikan surau sebagai majelis dan tempat belajar
Al Quran, seperti Tengku Cot Mangpalam, Tengku di Geuredong dan yang lainnya.
Awal abad ke-17M surau-surau yang didirikan tokoh, mengalami kemajuaan. Muncul
banyak Ulama terkenal pada saat itu, seperti Nuruddin Al-Raniri, Ahmad Khatib
Langin, Samsuddin Sumatrani, Hamzah Fansuri, ‘Abd al-Rauf al-Singkili, dan Burhanuddin.[2]
Selain
faktor berkembangnya penyebaran Islam di Nusantara proses akomodasi Islam yang
berlangsung secara berbeda-beda di tempat yang berbeda-beda dan ditentukan oleh
cara pendekatan para penyiar Islam yang berbeda dalam memperkenalkan agama ini,
bagaimana penyiar Islam memahami tradisi lokal agar strategi islamisasi yang
bersifat asimilatif dapat terlaksana.
Dalam
kaitannya dengan konteks politik, Nusantara terdiri dari kerajaan-kerajaan
dengan penguasa lokal yang berperan penting dalam proses islamisasi dan
penerapan-penerapan ajaran agama Islam di Nusantara. Meskipun demikian bukan
berarti tidak ada hambatan dalam proses Islamisai, ada banyak faktor yang telah
menjadi kendala. Seperti konflik panjang yang terjadi di Mataram (abad ke 17[3]),
kekuasaan kolonial juga menjadi salah satu kekuatan yang berusaha meghalangi penyebaran Islam. Di daerah Tipanuli kepala
desa yang telah masuk Islam dipecat oleh residen. Peran pemerintah kolonial
sangat besar dalam menghambat penyebaran ajaran Islam. Sebaliknya, berbagai
kerajaan Islam dalam banyak masalah, memberikan dorongan dalam proses
islamisasi. Pengaruh struktural politik kerajaan sangat menentukan agama Islam
untuk kemudian berkembang dan disosialisasikan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara.[4]
Keadaan
pendidikan Islam pada saat itu adalah pendidikan yang menjunjung tinggi orang
yang berilmu pengetahuan. Pengajaran yang diberikan adalah pengetahuan agama
Islam. Lembaga yang memberikan pendidikan pada saat itu adalah Langgar atau
Pesantren. Pengajaran di langgar merupakan pengajaran pemula, pada awalnya
mereka diberikan pelajaran huruf Arab kemudian mengaji ayat-ayat Al Quran. Sistem
pengajiannya Individual, yaitu murid meniru contoh dari seorang Guru.
Pembelajaran biasanya dilakukan pada waktu pagi hari dan malam hari ba’da
Magrib, tidak ada pungutan biaya.[5]
Muhammad Yunus menerangkan, sistem
pengajaran Islam pertama di Indonesia adalah diajarkanya Al-Quran kepada setiap
Muslim sejak kecil melalui kegiatan yang dinamai “Pengajaran Al-Quran” yang
bertempat di Suru, Mesjid, dan Rumah-rumah kyai. Yunus menegaskan bahwa
Al-Quran merupakan pendidikan pertama yang diberikan kepada seorang Muslim,
sebelum meperkenalkannya dengan ajaran Islam yang lainnya seperti, Fiqih,
Tauhid, dan lain sebagainya.
Pengajaran Al Quran semakin nyata pada
abad-abad selanjutnya, mengutip Islah Gusmain, Zamakhsyari menjelaskan pada
1847, meski sistem pangajaran Al Quran
belum dinamis namun pengajaran Al Quran telah terjadi di setiap keluarga-keluarga.
Jenjang paling dasar dilakukan oleh pihak keluarga di rumah, sejak anak-anaknya
berumur 5 tahun, anak-anak dibiasakan untuk menghafal ayat-ayat pendek. Pada
usia 7 atau 8 tahun, anak mulai diperkenalkan cara menghafal huruf Arab sampai
mampu membaca Al Quran. Bagi anak yang orang tua dan saudaranya tidak bisa mengajarkan
Al Quran, pendidikannya diserahkan pada tetangga yang mampu.[6]
Uraian tentang pertumbuhan pengajaran Al Quran di atas menunjukan bahwa sejak
semula uamat Islam mempunyai perhatian terhadap Al Quran, dan Al Quran mempunyai tempat kedudukan
penting, dimana Al Quran sebagai kitab suci umat Islam.
Perkembangan Tafsir Abad XVI-XIX M
Sejalan
dengan berkembangnya pengajaran Al-Quran, pada abad ke-16 pula telah muncul
upaya penulisan tafsir Al Quran, bukti penafsiran paling awal dan teknik penulisannyapun hanya
pada surat dan ayat tertentu yaitu tafsir surah Al-Kahfi [18]:9 yang
tidak diketahui siapa penulisnya, ditulis dengan terjemah dan komentar
berbahasa Melayu, dan banyak merujuk dari tafsir Al-Baghawi dan
tafsir Al-Khazin, dan diduga tafsir ini ditulis pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda. Manusripnya di bawa ke Belanda oleh seorang ahli bahasa
Arab dari Belanda.[7]
Tafsir
Al Quran pada masa ini lebih dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah
dibandingkan dengan periode klasik yang mana pada masa ini sudah adanya buku
pegangan yang lebih representatif dari
ahli tafsir yang kompeten dan profesional. Berpijak pada kenyataan tersebut,
tidak salah jika disimpulkan bahwa tafsir di Indonesia baru dimulai secara
faktual pada periode ini.[8]
Untuk
lebih jelasnya mengenai penafsiran periode ini dapat dilihat dari bentuk,
metode dan corak penafsiran.
Bentuk Tafsir[9]
Berdasarkan
data yang disampaikan kepada umat, penafsiran disampaikan berbentuk ar ra’yu
(pemikiran), sementara al ma’tsur tidak begitu populer atau dapat
dikatakan bahwa tidak masuk ke Indonesia pada masa itu, padahlm jika dilihat di
daerah Timur Tengah telah berkembang secara pesat penafsiran baik dalam bentuk al
ma’tsur maupun ar ra’yu. Seperti contoh kitan tafsir Al Jalalain
yang ditulis oleh dua Jalaluddin yaitu Jalaluddin Al Mahlmli dan Jalaluddin As
Suyuti.
Diantara
upaya yang dilakukan oleh penafsir pada periode ini adalah membaca dan memahami
tafsir yang datang dari Timur Tengah yaitu tafsir Jalalain. Jika dilihat
dari pembacaanya terhadap tafsir pada masa ini adalah tafsir Jalalain,
maka dapat disimpulkan bahwa tafsir pada periode ini yang amat berkembang
adalah tafsir ar ra’yu dikarenakan kitab tafsir Jalalain
ditafsirkan berdasarkan ra’yu.
Jika
melihat langsung dalam kitab Jalalain maka terlihat bahwa penulis
menjelaskan permulaan penafsiran dengan menggambarkan suatu perbedaan pendapat
di kalangan umat Islam yang terjadi pada masa itu. Sebagai contoh perdebatan
mengenai harta rampasan perang yang mana belum dapat mereka selesaikan dan
mereka bertanya pada Nabi Muhammad yang akhirnya turunlah surat Al Anfal untuk
menyelesaikannya.
Dalam halaman
tersebut terlihat jelas bahwa Penulis kitab lebih menggunakan rasional
dibandingkan dengan riwayat. Riwayat hanya sebatas legitimasi terhadap
pemikiran atau ide yang dikemukakannya tidak sebagai titik tolak penafsiran.
Fakta ini membuktikan bahwa yang berkembang pada eriode ini adalah ar ra’yu.
Hlm tersebut dikarenakan beberapa faktor, yaitu
a.
Kondisi
Mufasir
Kondisi
Mufasir yang dimaksut adalah latar belakang keahlian Ulama yang memperkenalkan
Islam ke Indonesia, baik yag datang dari luar Indonesia seperti Arab maupun
dari pribumi sendiri. Berdasarkan fakta yang ada tidak dijumpai diantara mereka
yang mempunyai spesialisasi dalam bidang hadis ataupun riwayat. Tetapi, mereka lebih
cenderung pada tarekat atau tasawuf.
Berdasarkan
hal tersebut, maka Ulama mengajarkan tafsir tidak dengan riwayat. Mereka
mengajarkan tafsir dengan ar ra’yu agar tidak terlalu sukar dalam
mengajak umat untuk berfiikir rasional sehingga sejalan dengan apa yang mereka
ingin kembagkan. Dalam hlm ini, jika pada periode ini terdapat Ulama ahli dalam
bidang riwayat tentu saja ada peninggalan (tafsir) yag mengacu pada bentuk
riwayat. Namun tidak ditemukan data tersebut, sehingga tidak salah jika
disimpulkan Ulama pada masa ini tidak memiliki spesialisasi dalam bidang hadis.
Hal ini
terjadi dikarenakan tafsir bi ma’tsur membutuhkan ketelitian dan ketekunan yang
luar biasa dalam menghimpun berbagai informasi mengenai ayat yang ditafsirkan.
Selain itu penafsir bi ma’tsur tidak boleh terkecoh dengan riwayat yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena sering ditemukan penafsirran yang
keluar dari kandungan ayat. Karena persyaratan bagi tafsir al ma’tsur amat berat, maka logis jika tidak banyak dari
Ulama yang menekuni bidang tersebut.
b.
Kondisi
Umat
Kondisi kedua
yang menyebabkan kurang berkembangnya tafsir al ma’tsur adalah kondisi
Bangsa Indonesia yang mana penduduknya belum begitu mahir dalam berbahasa Arab
dan sampai sekarang boleh disebut bahasa tersebut masih menjadi momok bagi
penduduk Indonesia. Bagaimana mungkin memperkenalkan tafsir dengan bahasa Arab
sedangkan penerima tidak memahami bahasa tersebut. Tafsir yang diperkenalkan di
Indonesia diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia atau
bahasa-bahasa daerah yang dipahami oleh mereka. Tafsir yang telah diterjemahkan
dalam bahasa lain telah menjadi tafsir ar ra’yu karena telah bercampur
dengan pemikiran penerjemah.
c.
Letak
Geografis
Kepulauan
Indonesia yang jauh dari lahirnya Islam dapat menjadi faktor terkendalanya ajaran
sampai ke negeri ini. Membutuhkan kekuatan baik fisik maupun keilmuan,
dikarenakan perjalanan yang melewati jalur laut (berlayar). Maka banyak hlm
yang harus dipersiapkan untuk menyebarkan Islam ke Indonesia.
Dari hlm
tersebut dapat dilihat jika tafsir al ma’tsur tidak berkembang di Indonesia.
Tafsir bil ma’tsur masuk ke Indonesia pada abad ke 19-20 M setelah banyak
pesantren yang dibawah asuhan para kyai di jawa ataupun buya di Sumatra.
Pada
abad ke-19 pangajaran Al-Quran ini semakin berkembang di beberapa wilayah di Nusantara
misalnya Sumatra (Aceh, Pandang Panjang, dll), Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat, bahkan Sulawesi dan Kalimantan.[10]
Prof Haidar Putra Daulya memberikan penjelasan yang sama. Pendidikan Islam
pertama di Inodesia adalah Al Quran yang diajarkan di Masjid, dan dirumah-rumah
Ulama. Yang dimulai dari kontak-kontak pribadi maupaun kelompok antara guru dan
pesrta didik.[11]
Satu abad
kemudian, setelah muncul tafsiran parsial pada surah Al-Kahfi yang tidak
diketahui siapa penulisnya. Muncul kembali tafsir tarjuman al-Mustafid yang
ditulis oleh ‘Abd al-Ra’ûf al-Singkili ditulis secra lengkap 30 juz, namun
tidak diketahui pasti kapan tahun penulisannya karna banyaknya perdebatan,
namun beberapa sumber memperkirakan, ditulis pada tahun1675.
Memasuki
awal abad ke-19, penulisan tafsir di Indonesia tidak lagi ditemukan seperti hlmnya
yang terjadi pada abad-abad sebelumnya, hlm tersebut terjadi karna adanya
beberapa faktor, diantranya pengkajian tafsir Al Quran selama berabad-abad
lamanya hanya sebatas membca dan memahami kitab yang ada, dan karna adanya
tekanan dan penjajahan Belanda yang mencapai puncaknya pada abad tersebut,
sehingga mayoritas Ulama mengungsi kepelosok desa dan mendirikan pesantren
sebagai tempat pembinaan generasi sekaligus konsentrasi perjuangan. Dan Ulama
tidak lagi fokus untuk menulis karya akan tetapi lebih cenderung mengajarkan
ajaran Islam yang ada, ataupun karya-karya yang telah ditulis oleh para Ulama
sebelumnya.[12]
Dan
sekitar abad ke-19 M., lahir kembali sebuah karya tafsir berbahasa Melayu
dengan aksara Jawi, dengan judul kitâb Fara’id Al Quran , dan lagi-lagi
tafsir ini tidak diketahui siapa pengarangnya, ditulis dengan sangat sederhana
karena hanya terdiri dari dua hlmaman dengan huruf kecil dan spasi rangkap.
Surah yang menjadi penafsiran dalam tafsiran ini adalah surat An-Nisa [4]; 11
dan 12 berbicara tentang hukum waris sesuai dengan judulnya kitâb Fara’id Al
Quran. Keterangan yang diberikannya sederhana, namun lebih dari sekedar
terjemah. Karena tidak diketahui dan tidak ada data penulisnya, hal itu menjadi
kendala untuk memaparkan lebih jauh tenteng gambaran tafsir tersebut.[13]
Dan itulah beberapa tafsir yang
diketahui lahir pada kerajaan Nusantara, menujukan bahwa perkembangan keilmuan
Islam telah diminati dan berekembang di masyarakat Nusantara, meskipun
diketahui tidak adanya kepentingan yang melatarbelakangi penulisan
tafsir-tafsir tersebut.
Contoh kitab tafsir
Sebagai
Seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin ilmu, Abdul Rauf Singkel telah
banyak melahirkan berbagai karangan dalam berbagai bidang yang beragam,
mengutip buku Ensiklopedi (Indonesia dalam Arus Sejarah) sejauh ini tercatat
ada 22 karya yang dikarang oleh Abdul Rauf Singkel. Dalam bidang fiqih karya
utama Abdul Rauf Singkel mar’at at-Tullab fi TashilMa’rifah al-ahkam
asy-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahab (cermin murid untuk memudahkan
pengetahuan tentang hukum syariaat yang diarahkan keapada raja) atas perintah
sultanah safiatuddin.
Karya
penomenal yang dikarang Abdul Rauf Singkel laianya adalah Tafsir Tarjuman
al-Mustafid, tafsir al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa melayu, dan
merupakan tasir pertama yang ditulis secra lengkap 30 juz. Karna sebab itulah,
karyanaya beredar luas di Nusantara-Melayu[14]
Metode,
Corak, Pendekatan Tarjuman al-Mustafid karya Abdul Rauf Singkel
Tafsir Tarjuman
al-Mustafid. Ditulis oleh Abdul Rauf Singkel (1606-1637). Tafsir ini pertam
kali diterbitkan di Istanbul pada tahun 1302 H/ 1884 M dan konon dijadikan
bukti persahabatan kerajaan Turki dengan Umat Islam Nusantara, setelah itu,
tafsir ini dicetak berulang kali di Istanbul, Makah, Kairo, Bombay, Penang,
Singapura, dan terakhir di Jakarta pada tahun 1984. Dengan banyaknya di cekat
diberbagai negara, dapat dipastikan bahwa penggunaan tafsir ini banyak dengan
penyalinan. Untuk Naskah asli dan cetakan yang pertma yang dicetak di Istanbul
sendiri, pernah ditemukan sarjana masyarakat Melayu dan Afrika Selatan, karya
ini tersebar di kawasan yang amat luas, termasuk Patani dan Sulu (Filifina
Seltan).
Tafsir Tarjuman al-Mustafid ditulis
untuk memenuhi kebutuhan umat Muslim di Nusantara yang pada saat itu belum
banyak orang yang mengerti ataupun bisa bahasa Arab. Tafsir Tarjuman
al-Mustafid ditulis dalam bahasa Melayu berbentuk tulisan pegon. Tafsir
Tarjuman al-Mustafid banyak memberikan manfaat penting dalam memanjukan
pemahaman yang lebih baik atas ajaran agma Islam.
Mengutip dari kumpulan makalah
Rosison Anwar. Snouck Horgronce menerangkan tafsir ini merupakan terjemah tafsir
al-Baidawi. Namun setelah dilakukan penelitian dengan mengambil juz 30
sebagai sample. Pertama,tafsir Tarjuman al-Mustafid bukan
terjemah dari tafsir al-Baidawi, tetapi merupakan terjemah dari tafsir
Jalalain. Kedua, meskipun terjemah dari tafsir Jalalain bukan
berarti tanpa memuat krativitas Abdul Rauf Singkel. Ketiga, tafsir Tarjuman
al-Mustafid tidak selalu mengikuti tafsir Jalalain, terkadang Abdul
Rauf Singkel memberikan penafsiran lain.
Dan ini
beberapa contohnya:
1)
Dalam menafsirkan kata “mihâd”
(QS An-Naba’[78]:6), al-Jalâlain menafsirkan denagn “firâsy” (tempat
tidur), sedangkan Abdul Rauf Singkel menafsirkan dengan kata “hamparan”.
2)
Dalam menafsirkan kata “ajwad”
(QS An-Naba’[78]:6), al-Jalâlain menafsirkan denagn “laki-laki dan
perempuan”, sedangkan Abdul Rauf Singkel menafsirkan dengan kata “berjodoh-jodoh”.
3)
Dalam menafsirkan kata “wahhâja”
(QS An-Naba’[78]:6), al-Jalâlain menafsirkan denagn “wiqâra” (menyala
dan panas), sedangkan Abdul Rauf Singkel menafsirkan dengan kata “menerangi”.
4)
Dalam menafsirkan kata “ajwad”
(QS An-Naba’[78]:6), al-Jalâlain menafsirkan denagn “laki-laki dan
perempuan”, sedangkan Abdul Rauf Singkel menafsirkan dengan kata
“berjodoh-jodoh”.
Dalam
menafsirkan tafsir Tarjuman al-Mustafid ke bahasa Melayu, Abdul Rauf
Singkel berusha menjadikannya lebih mudah untuk dipahami Masyarakat Nusantara,
misalnya dengan menghilangkan penjelasan-penjelasan makna berdasarkan
lingusitik, yang menurutnya dapat menghilangkan perhatian pembaca dari tujuan pokok
yang di maksud. Dan juga, Abdul Rauf Singkel tidak menafsirkan dengan panjang
lebar yang memang sulit untuk dipahami. Dan bisa kia simpulkan, bahwa tafsir Tarjuman
al-Mustafidmerupakan tafsir denag model tafsir ijmali
Merupakan
satu keyataan bahwa Tarjuman al-Mustafid merupakan tafsir pertama yang
ditulis secra lengkap dengan bahasa Melayu. Menurut Salman Harun, seperti
dikutipnya, telah di temukan sepuluh naskah Tarjuman al-Mustafiddi
perpustakaan-perpustakaan dalam dan luar negri, tetapi tidak satupun diantra
naskah-naskah tersebut lengkap, dan naskah yang masih agak lengkap berada di
Museum Pusat Jakarta, terdiri atas 291 halaman dengan ukuran 29,5 x 20 cm,
setiap halamannya terdiri atas 33 baris, tesk ayat di tulis dengan tinta merah
di beri harkat, kemudian diikuti
penafsiran ayat yang ditulis denagn tinta hitam. Meskipun ayat tersebut
lengkap, tetapi sebagian ayat sudah rusak, kecuali bagian dari lembar surat Nûh
sampai akhir tafsir. Teknis penulisannya pun mengikuti tafsir Jalâin ia
menafsirkan ayat sesuai dengan susunan Mushaf ‘Utsmânî. Penulisan yang ringkas dan lugas didorong oleh
kepentingan tafsir ini yang dikhususkan bagi pemula dalam memahami ajaran
Islam.[15]
Penutup
Pada Abad
ini, tafsir mulai mengenal dengan cara tertulis. Menurut beberapa pendapat,
Berdasarkan data yang disampaikan kepada umat, penafsiran disampaikan berbentuk
ar ra’yu (pemikiran), sementara al ma’tsur tidak begitu populer
atau dapat dikatakan bahwa tidak masuk ke Indonesia pada masa itu, padahlm jika
dilihat di daerah Timur Tengah telah berkembang secara pesat penafsiran baik
dalam bentuk al ma’tsur maupun ar ra’yu. Hal ini dikarenakan
mufasir menggunkan tafsir jalalain yang lebih banyak kepada ra’yu.
DAFTAR
PUSTAKA
Federspiel, Howard M. 1996. Popular
Indonesian Literature of the Quran, terj. Tajul Arifin, (Bandung: MIZAN)
Gusmain,Islam.2013. Khazanah Tafsir
Indonesia dari Hermenetika hingga Ideologi, (Yogyakarta: LkiS)
Afiuddin, Sobry Sutikno, Enung K. 2007. Sejarah
Pendidikan, (Bandung : Insan Mandiri)
Dholfier,
Zamakhsyari, “Sekolah Al-Quran dan pendidikan Islam di Indonesia”, Jurnal
Ulumul Qur’an”
Rohmana,
Jajang A .2014. Sejrah tafsir
Al-Quran di Tatar Sunda, (Jakarta: Mujahid,)
Baidan,Nasruddin. 2003. perkembangan Tafsir Indonesia, (Tiga
Serangaki Pustaka Mandiri)
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta:Hidakarya Agung, 1984), hlm.34
Daulya,Haidar Putra . 2006. Pendidikan Islam
Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indoneia, (Jakarta: Kencana)
[1] Howard M.
Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Quran, terj. Tajul Arifin,
(Bandung: MIZAN, 1996), hlm. 18
[2] Islam Gusmain,
Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermenetika hingga Ideologi, (Yogyakarta:
LkiS, 2013) hlm.17
[3]
https://id.wikipedia.org
[4] Ensikopedia
Tematis Dunia Islam, vol.5 (Asia Tengara) hlm. 29-31
[5]Afiuddin, Sobry
Sutikno, Enung K, Sejarah Pendidikan, (Bandung : Insan Mandiri, 2007), hlm.45-46
[6] Zamakhsyari
Dholfier, “Sekolah Al-Quran dan pendidikan Islam di Indonesia”, Jurnal
Ulumul Qur’an”, hlm.88
[7]Jajang A
Rohmana, Sejrah tafsir Al-Quran di Tatar Sunda, (Mujahid, Jakarta, 2014)
hlm.33-34
[8]Nasruddin
Baidan, perkembangan Tafsir Indonesia, (Tiga Serangaki Pustaka Mandiri,
2003), hlm.48
[9]Nasruddin
Baidan, perkembangan Tafsir Indonesia, (Tiga Serangaki Pustaka Mandiri,
2003), hlm.79
[10] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Hidakarya Agung, 1984), hlm.34
[11] Haidar Putra
Daulya, Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indoneia, (Jakarta:
Kencana, 2006) hlm.67
[12]Nasruddin
Baidan, perkembangan Tafsir Indonesia, (Tiga Serangaki Pustaka Mandiri,
2003), hlm.79
[13] Jajang A
Rohmana, Sejarah tafsir Al-Quran di Tatar Sunda, (Mujahid, Jakarta,
2014) hlm.33
[14] Ensiklopedi, Indonesia
dalam Arus Sejarah, vol. 3 Kedatangan dan Peradaban Islam, Hal.156
[15]Sekripsi
Muhammad Indra Nazarudin, Kajian Tafsir Indonesia Analisis terhdap tafsir
Tammsiyyat al-Muslîn Fî Kalâm Rabb al-Alamîn, hal.40-41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar