Kamis, 17 Agustus 2017

Memahami Kriteria Kitab Tafsir;
 Al Tafsir Al Bayani Lil Quran Al Karim Karya Dr. Aisyah Bint Syathi’
Siti Robikah
Ilmu Al Quran dan Tafsir

Pendahuluan
Al Quran sebagai kitab sastra terbesar  yang memiliki keindahan dalam segi bahasanya memberikan daya tarik tersendiri bagi para intelektual muslim untuk menginterpretasi susastra Al Quran. Hal tersebut sebagai cara lain untuk merekontruksi pesan Illahi yang dibawanya. Berawal dari keinginan yang kuat untuk menyingkap sisi keindahan bahasa Al Quran dimulai dari gaya tutur yang komunikatif sampai banyaknya simbol yang sarat makna yang sebenarnya bisa mengantar penafsir teks pada makna yang terdalam teks itu sendiri. Sehingga tidak heran jika Al Quran itu sendiri merupakan sumber mata air yang telah mengilhami munculnya berjilid-jilid kitab tafsir. Banyak mufasir yang berijtihad untuk menafsirkan AL Quran sejak periode klasik sampai pada periode modern.[1]
Sebagian orang mengecam bahwa beberapa ayat Al Quran bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Mereka lebih meninggikan posisi laki-laki dibandingkan posisi perempuan. Seperti apa yang terlihat dari beberapa mufasir, mereka menafsirkan ayat-ayat perempuan dengan paham patriarki. Mereka berargumen bahwa perempuan haruslah memposisikan diri hanya mengurus rumah, suami dan anak-anaknya. Namun hal tersebut tidaklah bertahan sampai saat ini, setelah banyaknya mufasir perempuan yang bermunculan dengan karya-karyanya.
Prof. Dr. Aisyah Abdurrahman yang dikenal dengan Bint Syathi’ (anak sungai) merupakan salah satu dari rentetan mufasir perempuan yang muncul pada masa kontemporer ini. Perempuan pertama yang mampu membuktikan bahwa tidak hanya laki-laki yang mampu memberikan sumbangsih pemikirannya untuk kemajuan Islam. Dengan kemampuannya dalam bidang bahasa dan sastra arab, Bint al Syathi’ menerbitkan karyanya Al Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim sebagai kitab tafsir yang konsentrasi pada kebahasaan Arab. Kitab Al Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim merupakan kitab tafsir yang menarik untuk dijadikan fokus kajian. Dalam hal ini Penulis akan memfokuskan tulisan pada bagaimana sistematika Bint Syathi’ dalam menafsirkan Al Quran melalui pembahasan tafsir surah al Dhuha terbatas pada kata al Dhuha dan al Lail al Saja (Saja Al Lail) dua ayat awal surah tersebut.
Sketsa Biografi Bint Syathi’
Prof. Dr. Aisyah Abdurrahman lahir di kota Dimyat, sebuah kota pelabuhan di Delta Sungai Nil bagian Utara Mesir, pada tanggal 6 November 1913 M, bertepatan pada tanggal 6 Dzulhijjah 1331 H, dari pasangan Shaykh Muhammad Ali Abd al-Rahman dan Faridah Abd al-Salam Muntasir. Ia hidup ditengah-tengah keluarga yang agamis, mapan dan berpendidikan. Shaykh Ibrahim ad-Damhuji al-Kabir, kakek keturunan ibu merupakan salah satu ulama besar Azhar.
Bint Syathi’ memulai pendidikannya pada tahun 1918, dan ketika itu dia berumur 5 tahun. Meskipun masa kanak-kanaknya tidak seperti anak-anak umumnya dikarenakan ayahnya selalu mengasuhnya di dalam kamar rumahnya. Dari kecil, Bint Syathi’ telah dipersiapkan menjadi seorang ulama Islam. Keluarganya selalu menekankan untuk menghafalkan Al Quran setiap harinya hingga pada usia yang masih belia Bint Syathi’ telah mampu menyelesaikan hafalannya.
Nama Bint syathi’ bermula dari nama pena ketika Aisyah Abdurrahman menulis di berbagai macam surat kabar, karena takut akan kemarahan sang ayah ketika membaca artikel-artikel yang ditulis, yang sejak awal memang menentang pendidikannya di luar rumah. Ayahnya berpandangan bahwa seorang perempuan hingga usia harus berdiam di rumah dan menempuh studinya disana. Beliau baru mengizinkan Bint Syathi’ keluar rumah untuk menuntut ilmu setelah ibunya meminta kakek dan guru sang ayah memintakan izin atas hal tersebut.
Sepeninggal kakeknya, Bint Syathi’ kehilangan pendukung utama yang akhirnya, ayahnya meminta untuk kembali tinggal di rumah. Meskipun demikian dia menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku yang dipinjam dari teman-temannya. Karena kecerdasan dan ketekunannya akhirnya Bint Syahthi’ lulus dengan presikat cumlaude. Hal ini mendorongnya untuk senantiasa menekuni ilmu-ilmu Islam. Bint Syathi’ memulai karirnya menjadi Penulis di sebuah lembaga di Giza. Ia banyak melayangkan tulisan di berbagai media massa terkenal di Mesir. Dari sinilah nama Bint Syathi’ mulai memuncak.[2]
Karir kepenulisannya berkembang terus berkembang. Kesibukannya dalam meulis tidak meghambat proses studinya. Pada tahun 1936, Bint Syathi’ menyelesaikan S1 Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab di Universitas Cairo. Kemudian merampungkan program Magister di Universitas dan jurusan yang sama pada tahun 1941 dan pada tahun 1950 berhasil meraih gelar Ph.D dan menjadi guru besar bahassa dan sastra arab pada Fakultas khusus untuk perempuan di Universitas ‘Ayn Al Syams, Kairo. Tidak hanya menjadi guru besar di Universitas tersebut akan tetapi kadang-kadang juga menjadi guru besar tamu di universitas lain seperti Universitas Islam Umm Durman, Sudan.[3] Bint Syathi’ meninggal dunia pada hari Selasa, 1 Desember 1998 dalam usia 85 tahun, karena serangan jantung mendadak.[4]
Bint Syathi’ dan Karya-karyanya[5]
Karya Bint Syathi’ sangat banyak, seluruh karya yang dilahirkannya menjadi saksi kehebatannya. Ada sekitar 40 judul buku dalam bidang Dirasah Islamiyyah, Fiqh, Tafsir, Adab, dan lainya telah terbit di Mesir dan beberapa negara Arab. Di antaranya: Maqal fi al-Insan (Dirasah Qur’aniyyah), Al Quran wa al-Tafsir al-‘Ari, Al Quran wa Qaaya al-Insan (Dirasah Qur’aniyyah), al-I‘jaz al-Bayani wa Masa’il Ibn al-Azraq dan al-Tafsir al-Bayani li Al Quran al-Karim, yang banyak menjadi rujukan metode penafsiran kontemporer. Selain itu, karya-karya yang telah dipublikasikan meliputi studi mengenai Abu al-‘Ala’ al Ma’arri, al-Khansa’, serta biografi keluarga Nabi Muhammad SAW dan masih banyak lagi karya-karya yang dilahirkannya dalam berbagai macam bidang.
Diantara karya karyanya yang berbentuk non fiksi adalah: al-Ghufran li Abi al-‘Ala’ al-Ma‘arri, Qira’ah Jadidah fi Risalat al-Ghufran, Lughatuna wa al Hayah, al-I‘jaz al-Bayani li Al Quran wa Masa’il Ibn al-Azraq Dirasah Qur’aniyyah Lughawiyyah wa Bayaniyyah, Tarajim Bayt al-Nubuwwah Raiya Allah ‘anhunna. Sedangkan karya karyanya yang berbentuk fiksi antara lain: Fi al-Imtian, Sirr Syathi’, Birrul Bik Bainal Fann wal Hayyah, ‘Asyiqat al-Layl, dan ‘Arus al-Badiyyah.
Adapun Al Tafsir  Al Bayani li Al Quran Al Karim merupakan magnum opus Bint Syathi’, yang terdiri dari dua jilid. Jilid pertama dicetak pada tahun 1966 M dan 1968 M. Sedangkan jilid kedua diterbitkan pada tahun 1969 M. Meskipun karya tafsir yang ditulisnya itu hanya terdiri dari empat belas surat pendek, namun publik sangat apresiatif dengan penerbitan karya ini. Bahkan, konon mereka mengharapkan ia bisa melanjutkan karya tafsirnya hingga mencakup seluruh ayat Al Quran, walaupun hal ini tidak sempat terealisasikan sampai ajal menjemputnya.
Tulisan terakhir yang sempat diterbitkan oleh surat kabar al-Ahram berjudul Ali bin Abi Talib Karrama Allah Wajhah, tanggal 26 Februari 1998. Pada hari Selasa, 1 Desember 1998, Bint Syathi’ menghembuskan nafas terakhirnya. Wafat dalam usia 85 tahun, karena serangan jantung mendadak. Bint Syathi’ telah meninggal dunia tapi namanya akan selalu hidup dan dikenang karena telah memberikan sumbangsih untuk kemajuan ilmu-ilmu Islam di bidang Tafsir.
Binthu Syathi’ dan Kitab Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim
Dalam karyanya Al Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim, Bint Syathi’ menggunakan pendekatan sastra dan menafsirkan ayat berdasarkan kronologis turunnya dengan tidak mengikuti susunan surah dalam mushaf Al Quran. Menurutnya bahwa dalam menafsirkan Al Quran hendaknya seorang mufasir beracu pada urutan ayat atau surah berdasarkan tertib turunnya.[6]
Prinsip umum Bint Syathi’ dalam menafsirkan Al Quran, berpegang kepada tiga hal, yakni pertama, Al Quran menjelaskan dirinya dengan dirinya sendiri (Al Quran yufassir ba’dluhu ba’dla), kedua, Al Quran harus dipelajari dan difahami keseluruhannya sebagai suatu kesatuan dengan karakteristik-karakteristik ungkapan dan gaya bahasa yang khas, ketiga, penerimaan atas tatanan kronologis Al Quran dapat memberikan keterangan sejarah mengenai kandungan Al Quran tanpa menghilangkan keabadian nilainya.
Yang sangat penting dari tafsirnya - meskipun tidak selesai seluruh Al Quran- adalah metode yang digunakannya. Secara jujur ia mengatakan bahwa metode tersebut  diperoleh dari Guru Besarnya di Universitas Fuad I yang belakangan menjadi suaminya. Bint Syathi’ mengikhtisarkan prinsip-prinsip metode itu, seperti yang tertulis dalam Manahij Tajdid ke dalam empat butir:
1.      Basis metodenya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami dari Al Quran secara objektif, dan hal ini dimulai dengan pengumpulan semua surah dan ayat mengenai topik yang ingin dipelajari.
2.      Untuk memahami gagasan yang terkandung dalam Al Quran, menurut konteksnya, ayat-ayat disekitar gagasan itu harus disusun menurut tatanan kronologis pewahyuannya, hingga keterangan mengenai wahyu dan tempat dapat diketahui. Riwayat tradisional mengenai “peristiwa pewahyuan” dipandang sebagai sesuatu yang perlu dipertimbangkan hanya sejauh dalam pengertian bahwa peristiwa itu merupakan keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan ayat tidak sampai pada tujuan atau sebab kenapa pewahyuan itu terjadi. Pentingnya pewahyuan terletak pada generalisasi kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan peristiwa pewahyuannya.
3.      Karena bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam Al Quran maka untuk memahaminya harus dicari arti linguistik aslinya yang memiliki rasa keakraban kata tersebut dalam berbagai penggunaan material dan figuratifnya.
4.      Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, naskah yang ada dalam susunan Al Quran itu dipelajari untuk mengetahui kemungkinan maksutnya. Dalam hal ini seluruh penafsiran yang bersift sekterian dan Isra’iliyyat yang mengacaukan harus disingkirkan.[7]
Dalam rangka menjaga orisinalitas dan cita rasa kebahasaan Al Quran, Bint Syathi mengajukan beberapa  cara untuk menyingkirkan unsur luar dan asing dalam pemahaman Al Quran. Pertama, Bint Syathi menolak campur tangan israilliyat dalam membantu menjelaskan makna Al Quran. Disebabkan Al Quran menurutnya berbicara menggunakan bahasa universal dengan menampilkan teladan-teladan moral, tidak menguraikan ungkapan detail setiap kejadian yang bersifat mistis dan historis. Kedua, menghindari pembahasan tentang kaitan Al Quran dengan sains modern. Ayat-ayat yang ada dalam Al Quran dipandang memiliki makna sendiri yang instrinsik dan hanya dapat difahami dengan mempelajari dalam konteksnya sendiri, bukan sebagai pelajaran dalam berbagai sains modern yang berbeda-beda atau bukti tekstual yang sejalan dengan teori mutakhir dalam lapangan pengetahuan modern.[8]
Bintu Syathi’ sangat khawatir dengan adanya paham sekterian dan Isra’illiyat yang masuk ke dalam tafsir para mufasir klasik. Yang demikian ini tentu saja berpengaruh terhadap pemahaman kitab agama Islam karena penjiwaan dan pengaruh kondisi-kondisi lokal. Hal ini masih ditambah dengan penafsiran mufasir yang mengarahkan nash namun kekurangan cita rasa bahasa Arab yang jernih dan asli. Kadang-kadang arahnya pun menyeleweng, karena fanatisme sesat, kesalahan metodologis, atau pemahaman yang dangkal.[9]
Meskipun begitu, Bint Syathi’ tidak mengingkari hasil karya mufasir sebelumnya. Merekalah yang telah mencurahkan usaha yang besar dalam berkhidmah pada Al Quran meskipun belum secara objektif. Bint Syathi’ mengatakan


“ Kesamaan penerimaan terhadap kitab agung ini tidak akan terjadi, kecuali kita berusaha keras dalam mengkaji, memahami dan menjiwainya dengan metode yang akurat dan objektif, yang melampaui tirai sekterianisme dan cita rasa yang asing, lalu memasuki esensi dan puncak kejernihan Al Quran serta orisinalitasnya.”



Yang  utama dalam metode ini adalah penguasaan tema untuk mengkaji satu tema yang ada di dalamnya, lalu menghimpun semua tema di dalam Al Quran, mengikuti kelaziman lafadz-lafadz dan ungkapan-ungkapan, sesudah membatasi makna bahasa.
Selanjutnya, dalam tataran pelaksanaan metode penafsiran, baik dalam bentuk tahliliy maupun maudhu’iy dan metode- metode lainnya, ia menekankan pentingnya memahami petunjuk lafal dengan cara pendalaman makna bahasa arab yang orisinal.  Sebagai contoh yang dapat dikemukakan uraian Bint Syathi’ketika menafsirkan surah al Dhuha yang diawali dengan mengemukakan berbagai riwayat tentang asbab al nuzul ayat dan menyimpulkan bahwa perselisihan  diseputar ayat tersebut, sebab asbab al-nuzul tidak lebih dari qarinah-qarinah (konteks-konteks) di seputar nash. Prinsipnya tentang asbab al-Nuzul dikemukakannya :
 ولا نقف عندما اختلفوا فيه, فأسباب النزول لا تعدو ان تكون قرائن مما حول النص, وهي باعتراف الاقدمين أنفسهم لا تخلو من وهم, والاختلاف فيها قديم, وخلاصة ما انتهى اليه قولهم فى اسباب النزول, أنها ما نزلت إلا أيام وقوعه, وليس السبب فيها, بمعنى السببية الحكمية العلية[10]
Kita tidak perlu membahas perselisihan mereka diseputar ayat tersebut, sebab asbab al-nuzul tidak lebih dari qarinah qarinah (konteks-konteks) diseputar nash. Menurut orang orang terdahulu, asbab al-nuzul tidak lebih dari waham. Perselisihan mengenai hal itupun sudah berjalan lama. Ringkasnya, pendapat mereka mengenai Asbab al-nuzul adalah bahwa ia merupakan peristiwa yang di situ ayat tidak turun kecuali pada saat-saat terjadinya peristiwa tersebut, dan bukan merupakan penyebab turunnya surah dalam pengertian sebab akibat”.
Selanjutnya ia menjelaskan tentang  قسم (sumpah) dengan huruf wawu (والضحى) dengan mengemukakan pendapat pakar seperti Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah yang mengatakan bahwa sumpah Allah dengan makhluknya membuktikan bahwa ia termasuk tanda-tanda kekuasaaannya yang besar dan Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan aspek keagungan dalam sumpah dengan waktu dhuha. Menurutnya, sumpah dengan cahaya dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya cahaya dan besarnya kadar kenikmatan di dalamnya, sekaligus untuk menarik perhatian kita bahwa yang demikian termasuk tanda-tanda kekuasaannya yang besar dan nikmat-nikmatnya yang agung. Bint  Syathi’ setelah mengungkap kedua pandangan ulama tersebut, sekaligus mengritiknya. Bint Syathi’menilai ketika menjelaskan makna wawu dalam surah al-Dhuha bahwa mereka mencampuradukkan keagungan dengan hikmah makhluk yang digunakan untuk bersumpah.
Ia memaknai sumpah-sumpah yang tersebut dalam surah al Dhuha sebagai ayat yang menjelaskan makna-makna petunjuk dan kebenaran, atau kesesatan dan kebatilan, dengan materi-materi cahaya dan kegelapan. Penjelasan yang maknawi (abstrak) dengan yang hissi (konkret) ini dapat dilihat pada sumpah-sumpah Al Quran dengan wawu. Yang demikian dapat diterima tanpa paksaan dalam pentakwilan ayat-ayat.[11]
Muqsam bih di dalam dua ayat surah al Duha adalah gambaran bersifat fisik dan realita konkret, yang setiap hari dapat disaksikan manusia ketika cahaya memancar pada dini hari. Kemudian turunnya malam ketika sunyi dan hening tanpa mengganggu sistem alam. Silih bergantinya dua keadaan dapat menimbulkan keadaan, dapat menimbulkan keingkaran, bahkan sebagai sesuatu yang tidak terlintas dalam pikiran siapapun. Bahwa setelah datangnya wahyu yang menerangi Muhammad SAW, datang saat-saat kosong dari wahyu yang terputus. Seperti malam sunyi yang kita saksikan datang setelah waktu dhuha yang cahayanya gemerlapan. Inilah yang diyakini dalam tafsir bayani tentang sumpah dengan waktu dhuha dan malam ketika sunyi.[12]
Sistematika Penulisan Kitab Tafsir Bint Syathi’
Dalam menafsirkan  kata al Dhuha, Bint Syathi’ lebih dahulu menjelaskan penafsiran mufasir terdahulu yang telah menafsirkan menurut pandangan dan metode masing-masing. Sebagai contoh, Bint Syathi’ mengungkap penafsiran Abduh:
“ Untuk itu, Allahpun bersumpah, bahwa Dia mengisyaratkan terangnya wahyu pada hati beliau pada mulanya seperti waktu dhuha yang menguatkan kehidupan dan menumbuhkan tetumbuhan. Sesudah itu, seperti malam hari ketika telah sunyi agar segala potensi beristirahat dan jiwa bersiap-siap untuk menghadapi pekerjaan. Sebagaimana dimaklumi pada awalnya Nabi menerima wahyu dengan berat, sehingga keterlambatan wahyu adalah untuk memantapkan dan menguatkan jiwa, guna memikul apa yang akan dihadapi. Sehingga sempurnalah hikmah Allah dalam mengutus beliau kepada makhluk-Nya.”[13]

Bint syathi’ memberikan komentar perihal pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa pertimbangan bayani dari penafsiran tersebut menyesatkan di tengah pembicaraan ini, bahwa pada waktu dhuha kehidupan menguat dan tetumbuhan menggeliat. Sedangkan pada malam hari kekuatan beristirahat dan jiwa bersiap-siap untuk menghadapi esok. Begitu pula dengan penafsiran Ibn Qayyim Al Jauziyyah dan Ibnu Jarir Al Thabari yang menurut Bint Syathi’ belumlah menjelaskan secara detail makna al Dhuha. Setelah membandingkan penafsiran mengenai dhuha, Bint Syathi’ menafsirkan dhuha dengan kemahiran linguistiknya.
Bahasa mendefinisikan dhuha sebagai waktu tertentu di siang hari, dan dengan itu pula dinamakan Shalat Dhuha karena dilakukan pada waktu tersebut. Unta yang disebut Al Dhahiyah adalah unta yang minum pada waktu dhuha. Jika mereka mengatakan dhuha fulan ghanamah maka kalimat berarti si Fulan mengembala kambingnya pada waktu dhuha. Dan dhahha bi al syah jika dia mengurbankan kambingnya di waktu dhuha pada hari kurban. Ini asal kata menurut lisanul Arab.
Petunjuk yang jelas adalah petunjuk yang tampak dalam semua pemakaian kata itu secara konkret pada materinya. Misalnya, dhahiyah adalah langit, dan dari sini dikatakan bahwa apa yang tampak dan jelas adalah dhahiyah. Dan mudhhah adalah daerah yang disinari matahari. Dan dhaha al thariq adalah jalan yang tampak dan jelas. Mereka mengatakan orang yang muncul dari arah sinar matahari dengan dhaha, dhahwan, dhuhuwwan dan dhuhiyyan.
Dari ihwal kejelasan dan ketampakan yang tersirat di dalam penggunaan-penggunaan yang konkrit bagi materi ini, dikatakan bahwa fa’ala fulan kadza dhahiyatan (Si Fulan melakukan ini secara terang-terangan). Namun penggunaan kata dhuha yang paling banyak yaitu untuk menunjukkan waktu tertentu dari awal siang, yang lebih sedikit dari naiknya siang, ketika matahari telah sempurna terangnya. Karena itu dikatakan adhha fulan apabila seseorang berada pada waktu dhuha.
Setelah menjelaskan kata dhuha melalui pemahaman linguistik berlanjut kepada pengumpulan ayat-ayat Al Quran – penggunaan Qurani – yang didalamnya terdapat kata dhuha. QS Al Naziat: 46 kata dhuha sebagai lawan kata ‘asyiyyah (senja hari), QS Al Naziat: 29 membandingkan siang yang terang benderang dengan malam gelap gulita, QS Al A’raf digunakan sebagai zharf zaman (keterangan waktu) bagi sebagian waktu siang hari dan QS Thaha: 59 dengan waktu matahari sepenggalahan naik. QS Thaha ini menjauhkan tafsiran waktu dhuha sebagai siang seluruhnya.
Pengertian semacam ini juga dijauhkan oleh ayat dalam surah Al Syam. Disitu tidak terlihat makna menjadi sempurna jika menafsirkannya dengan siang hari. Sehingga dikatakan bahwa “Demi matahari dan siang harinya.” Tetapi dhuha adalah “waktu membentangnya matahari” seperti Al Raghib dalam Mufradatnya. Atau ia adalah “permulaan siang ketika matahari naik dan tampak kekuasaannya” seperti kata Al Naisaburi di dalam Gharaibnya.
Adapun Saja Al lail adalah ketenangan atau keredaan malam. Itulah yang sesuai dengan situasi secara bayani, bukan datang atau berpalingnya malam seperti apa yang dikatakan oleh para mufasir. Tidak ada kosa kata saja di dalam Al Quran kecuali di tempat ini. Namun pengertian sebagai antonim dhuha, menjadikan kami yakin bahwa saja Al lail adalah saat ketenangan dan keheningan malam, sesuai apa yang dikenal dalam bahasa arab bahwa ketika menggunakan kalimat tharfun sajin (pandangan yang tenang) dan bahrun sajin (pandangan yang tenang).
Bint Syathi’ memberikan kesimpulan perihal qasam dengan dhuha dan malam yang telah sunyi, merupakan penjelasan gambaran yang konkret dan realitas yang dapat dilihat, yang dipersiapkan untuk situasi yang sebanding yang tidak konkret dan tidak dapat dilihat. Yaitu terhentinya wahyu sesudah muncul dan terang.
Penilaian atas Pemikiran Bint Syathi’[14]
Keberatan yang diajukan oleh kritikus tafsir terhadap metode Bint Syathi’ adalah kemungkinan pergeseran makna ayat mengingat rentang waktu yang lama dari masa turunnya Al Quran yaitu 22 hingga 23 tahun. Ungkapan dan gaya ayat-ayat pada masa awal pewahyuan tidak harus sama dengan yang turun kemudian. Bint alSyathi’ menjawab persoalan ini dengan menekankan bahwa proses deduksi digunakan untuk menemukan makna fenomena linguistik dan gaya Al Quran yang tersatukan secara kronologis dapat membawa kita pada makna Qurani dari fenomena-fenomena tersebut, dan bahawa fenomena-fenomena itu secara keseluruhan bersifat konsisten.
Argumentasi lain yang juga dilontarkan untuk menolak metode Bint Syathi’ adalah bahwa para mufassir klasik tampaknya tidak selamanya setuju mengenai “sebab-sebab pewahyuan” (Asbaab alnuzul) dan sekiranya laporan-laporan mengenai hal ini turut dimanfaatkan dalam menafsirkan Al Quran, maka hasilnya akan dikacaukan oleh adanya perselisihan pendapat di sekitar masalah tersebut. Untuk menjawab masalah tersebut, Bint Syathi’ menolak keberatan ini dengan menyatakan bahwa perselisihan pendapat mengenai “sebab-sebab pewahyuan” pada umumnya disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka yang hidup sezaman dengan masa diturunkannya sebuah ayat atau surat mengasosiasikan ayat atau surat itu dengan apa yang masing-masing mereka anggap sebagai sebab diturunkannya ayat.
Sementara itu, metode yang diusulkannya menolak untuk menganggap setiap peristiwa dalam asbaab al nuzul tersebut sebagai sebab atau bahkan tujuan dari turunnya wahyu, tapi sekedar merupakan “rambu-rambu” eksternal dari pewahyuan itu, sehingga penekanannya diletakkan pada universalitas makna dan bukan pada kehususan kondisi tersebut.
Argumentasi terakhir yang diajukan oleh kritikus Al-Qur’an untuk melemahkan metode yang diusung oleh Bint al-Syathi’ adalah bahwa bahasa Arab yang digunakan pada masa Nabi Muhammad, sebagai yang diabadikan dalam syair-syair lisan dan prosa yang dikodifikasi kemudian mengindikasikan adanya penggunaan kosa-kata (mufradât) atau uslûb bahasa yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau berbeda dengan apa yang digunakan dalam Al-Qur’an. Sebagai konsekuensinya, mendasarkan diri pada rasa keakraban untuk memahami mufradât Al-Qur’an dalam berbagai penggunaannya, adalah sama dengan membuka pintu bagi masuknya unsur-unsur asing ke dalam pemahaman atas teks Al-Qur’an.
Penutup
Corak dan metode penafsiran seseorang sangat dipengaruhi oleh latar belakang intelektualnya. Bint Syathi’ misalnya sebagai salah seorang ahli tafsir dengan latar belakang sastara tentunya berusaha untuk melihat Al Quran dari segi sastra. Bint Syathi’ yang dikenal sebagai pengagum Amin Al Khuli, secara langsung mengakui bahwa metode yang diterapkan dalam tafsirnya “berkiblat” kepada metode yang telah diusung oleh suaminya, Al Khuli. Metode tersebut menggunakan pendekatan tematik (maudhu‘i) dalam menafsirkan Al Qur’an dan menekankan perlunya interpretasi  berdasar pada kronologis teks dan penggunaan semantik bahasa Arab. Pendekatan tematik ini lahir sebagai respon terhadap metode penafsiran klasik yang oleh pakar Al Quran kontemporer dinilai parsial dan atomistik. Secara umum dapat dikatakan bahwa metode yang diterapkan oleh Bint Syathi’ dalam tafsirnya yang memuat 14 surah Makkiyah awal yang berjudul Al Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim bercorak sastra (literary exegesis) yang didesain menjadi interpretasi inter-teks Al Quran yang secara metodologis, dapat dikategorikan modern.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,Aisyah,1990,  Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim, (Kairo: Dar Al Ma’arif)
Fatimah Bintu Thohari, “Aishah ‘Abd al Rahman bint al Shati’: Mufasir Wanita Zaman Kontemporer”, DIROSAT: Journal of Islamic Studies, (Vol.1, No.1, Januari-Juni 2016)
H. Muchlis Nadjamuddin, “Kontribusi Penafsir Wanita (Suatu Kajian Metodologis Tafsir Bintusy Syathi’)”, MUSAWA, (Vol.6, No.2, Desember 2014)
Nasaiy Aziz, “ Metode Penafsiran Al Quran Versi Bint Syathi’ “, Al Mu’ashirah, (Vol.10, No.1, Januari 2013),
Wahyuddin, “Corak dan Metode Interpretasi Aisyah Abdurrahman Bint Syathi’”, Al Ulum, (Vol.11, No.1, Juni 2011)




[1]  Fatimah Bintu Thohari, “Aishah ‘Abd al Rahman bint al Shati’: Mufasir Wanita Zaman Kontemporer”, DIROSAT: Journal of Islamic Studies, (Vol.1, No.1, Januari-Juni 2016), hlm. 88
[2] Biografi Bint Syathi’ seleruhnya Penulis ambil dari Fatimah Bintu Thohari, “Aishah ‘Abd al Rahman bint al Shati’: Mufasir Wanita Zaman Kontemporer”, DIROSAT: Journal of Islamic Studies, (Vol.1, No.1, Januari-Juni 2016), hlm. 90-91
[3]  Issa J Boullata, dalam Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintusysyathi’, terj. Muzakir Abdussalam, (Bandung:Mizan, 1996, Cet. I), hlm. 9
[4] Nasaiy Aziz, “ Metode Penafsiran Al Quran Versi Bint Syathi’ “, Al Mu’ashirah, (Vol.10, No.1, Januari 2013), hlm. 37
[5] Issa J Boullata, dalam Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintusysyathi’, hlm. 10

[6]  H. Muchlis Nadjamuddin, “Kontribusi Penafsir Wanita (Suatu Kajian Metodologis Tafsir Bintusy Syathi’)”, MUSAWA, (Vol.6, No.2, Desember 2014), hlm.323
[7] Lihat kata pengantar cetakan kelima Aisyah Abdurrahman, Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim, (Kairo: Dar Al Ma’arif, 1990), hlm. 10-11
[8] Issa J Boullata, dalam Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintusysyathi’, hlm. 18-19
[9] Aisyah Abdurrahman, Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim, (Kairo: Dar Al Ma’arif, 1990), hlm. 15
[10]  Aisyah Abdurrahman, Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim, hlm.23
[11] Aisyah Abdurrahman, Tafsir Al Bayani  li al- Quran al- Karim,  hlm.51
[12]  Aisyah Abdurrahman, Tafsir Al Bayani  li al- Quran al- Karim,  hlm. 52
[13] Muhammad Abduh, Tafsir Juzz Amma, hlm. 95
[14]  Wahyuddin, “Corak dan Metode Interpretasi Aisyah Abdurrahman Bint Syathi’”, Al Ulum, (Vol.11, No.1, Juni 2011), hlm. 88

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERKEMBANGAN TAFSIR DI INDONESIA ABAD  XVI-XIX M Husain Imaduddin Siti Robikah Pendahuluan Pusat studi Islam di Asia Tenggara dan k...