Memahami Kriteria Kitab
Tafsir;
Al Tafsir Al Bayani Lil Quran Al Karim Karya
Dr. Aisyah Bint Syathi’
Siti Robikah
Ilmu Al Quran dan Tafsir
Pendahuluan
Al Quran
sebagai kitab sastra terbesar yang
memiliki keindahan dalam segi bahasanya memberikan daya tarik tersendiri bagi
para intelektual muslim untuk menginterpretasi susastra Al Quran. Hal tersebut
sebagai cara lain untuk merekontruksi pesan Illahi yang dibawanya. Berawal dari
keinginan yang kuat untuk menyingkap sisi keindahan bahasa Al Quran dimulai
dari gaya tutur yang komunikatif sampai banyaknya simbol yang sarat makna yang
sebenarnya bisa mengantar penafsir teks pada makna yang terdalam teks itu
sendiri. Sehingga tidak heran jika Al Quran itu sendiri merupakan sumber mata
air yang telah mengilhami munculnya berjilid-jilid kitab tafsir. Banyak mufasir
yang berijtihad untuk menafsirkan AL Quran sejak periode klasik sampai pada
periode modern.[1]
Sebagian
orang mengecam bahwa beberapa ayat Al Quran bersifat diskriminatif terhadap
perempuan. Mereka lebih meninggikan posisi laki-laki dibandingkan posisi
perempuan. Seperti apa yang terlihat dari beberapa mufasir, mereka menafsirkan
ayat-ayat perempuan dengan paham patriarki. Mereka berargumen bahwa perempuan
haruslah memposisikan diri hanya mengurus rumah, suami dan anak-anaknya. Namun
hal tersebut tidaklah bertahan sampai saat ini, setelah banyaknya mufasir
perempuan yang bermunculan dengan karya-karyanya.
Prof.
Dr. Aisyah Abdurrahman yang dikenal dengan Bint Syathi’ (anak sungai) merupakan
salah satu dari rentetan mufasir perempuan yang muncul pada masa kontemporer
ini. Perempuan pertama yang mampu membuktikan bahwa tidak hanya laki-laki yang
mampu memberikan sumbangsih pemikirannya untuk kemajuan Islam. Dengan
kemampuannya dalam bidang bahasa dan sastra arab, Bint al Syathi’ menerbitkan
karyanya Al Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim sebagai kitab tafsir
yang konsentrasi pada kebahasaan Arab. Kitab Al Tafsir Al Bayani li Al Quran
Al Karim merupakan kitab tafsir yang menarik untuk dijadikan fokus kajian.
Dalam hal ini Penulis akan memfokuskan tulisan pada bagaimana sistematika Bint
Syathi’ dalam menafsirkan Al Quran melalui pembahasan tafsir surah al Dhuha
terbatas pada kata al Dhuha dan al Lail al Saja (Saja Al Lail) dua
ayat awal surah tersebut.
Sketsa Biografi Bint Syathi’
Prof. Dr. Aisyah Abdurrahman lahir di kota
Dimyat, sebuah kota pelabuhan di Delta Sungai Nil bagian Utara Mesir, pada
tanggal 6 November 1913 M, bertepatan pada tanggal 6 Dzulhijjah 1331 H, dari
pasangan Shaykh Muhammad Ali Abd al-Rahman dan Faridah Abd al-Salam Muntasir.
Ia hidup ditengah-tengah keluarga yang agamis, mapan dan berpendidikan. Shaykh
Ibrahim ad-Damhuji al-Kabir, kakek keturunan ibu merupakan salah satu ulama
besar Azhar.
Bint Syathi’ memulai pendidikannya pada tahun
1918, dan ketika itu dia berumur 5 tahun. Meskipun masa kanak-kanaknya tidak
seperti anak-anak umumnya dikarenakan ayahnya selalu mengasuhnya di dalam kamar
rumahnya. Dari kecil, Bint Syathi’ telah dipersiapkan menjadi seorang ulama
Islam. Keluarganya selalu menekankan untuk menghafalkan Al Quran setiap harinya
hingga pada usia yang masih belia Bint Syathi’ telah mampu menyelesaikan
hafalannya.
Nama Bint syathi’ bermula dari nama pena ketika
Aisyah Abdurrahman menulis di berbagai macam surat kabar, karena takut akan
kemarahan sang ayah ketika membaca artikel-artikel yang ditulis, yang sejak
awal memang menentang pendidikannya di luar rumah. Ayahnya berpandangan bahwa
seorang perempuan hingga usia harus berdiam di rumah dan menempuh studinya
disana. Beliau baru mengizinkan Bint Syathi’ keluar rumah untuk menuntut ilmu
setelah ibunya meminta kakek dan guru sang ayah memintakan izin atas hal
tersebut.
Sepeninggal kakeknya, Bint Syathi’ kehilangan
pendukung utama yang akhirnya, ayahnya meminta untuk kembali tinggal di rumah.
Meskipun demikian dia menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku yang
dipinjam dari teman-temannya. Karena kecerdasan dan ketekunannya akhirnya Bint
Syahthi’ lulus dengan presikat cumlaude. Hal ini mendorongnya untuk
senantiasa menekuni ilmu-ilmu Islam. Bint Syathi’ memulai karirnya menjadi
Penulis di sebuah lembaga di Giza. Ia banyak melayangkan tulisan di berbagai
media massa terkenal di Mesir. Dari sinilah nama Bint Syathi’ mulai memuncak.[2]
Karir kepenulisannya berkembang terus
berkembang. Kesibukannya dalam meulis tidak meghambat proses studinya. Pada
tahun 1936, Bint Syathi’ menyelesaikan S1 Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab di
Universitas Cairo. Kemudian merampungkan program Magister di Universitas dan
jurusan yang sama pada tahun 1941 dan pada tahun 1950 berhasil meraih gelar Ph.D
dan menjadi guru besar bahassa dan sastra arab pada Fakultas khusus untuk
perempuan di Universitas ‘Ayn Al Syams, Kairo. Tidak hanya menjadi guru besar
di Universitas tersebut akan tetapi kadang-kadang juga menjadi guru besar tamu
di universitas lain seperti Universitas Islam Umm Durman, Sudan.[3]
Bint Syathi’ meninggal dunia pada hari Selasa, 1 Desember 1998 dalam usia 85
tahun, karena serangan jantung mendadak.[4]
Bint Syathi’ dan Karya-karyanya[5]
Karya Bint Syathi’ sangat banyak, seluruh karya
yang dilahirkannya menjadi saksi kehebatannya. Ada sekitar 40 judul buku dalam
bidang Dirasah Islamiyyah, Fiqh, Tafsir, Adab, dan lainya telah terbit di Mesir
dan beberapa negara Arab. Di antaranya: Maqal fi al-Insan (Dirasah
Qur’aniyyah), Al Quran wa al-Tafsir al-‘Aṣri, Al
Quran wa Qaḍaya al-Insan (Dirasah Qur’aniyyah), al-I‘jaz
al-Bayani wa Masa’il Ibn al-Azraq dan al-Tafsir al-Bayani li Al
Quran al-Karim, yang banyak menjadi rujukan metode penafsiran kontemporer.
Selain itu, karya-karya yang telah dipublikasikan meliputi studi mengenai Abu
al-‘Ala’ al Ma’arri, al-Khansa’, serta biografi keluarga Nabi Muhammad SAW dan
masih banyak lagi karya-karya yang dilahirkannya dalam berbagai macam bidang.
Diantara karya karyanya yang berbentuk non
fiksi adalah: al-Ghufran li Abi al-‘Ala’ al-Ma‘arri, Qira’ah Jadidah fi Risalat
al-Ghufran, Lughatuna wa al Hayah, al-I‘jaz al-Bayani li Al Quran wa
Masa’il Ibn al-Azraq Dirasah Qur’aniyyah Lughawiyyah wa Bayaniyyah, Tarajim
Bayt al-Nubuwwah Raḍiya Allah
‘anhunna. Sedangkan karya karyanya yang berbentuk fiksi antara lain: Fi al-Imtiḥan, Sirr Syathi’, Birrul Bik Bainal Fann wal Hayyah, ‘Asyiqat
al-Layl, dan ‘Arus al-Badiyyah.
Adapun Al Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim merupakan
magnum opus Bint Syathi’, yang terdiri dari dua jilid. Jilid pertama dicetak
pada tahun 1966 M dan 1968 M. Sedangkan jilid kedua diterbitkan pada tahun 1969
M. Meskipun karya tafsir yang ditulisnya itu hanya terdiri dari empat belas
surat pendek, namun publik sangat apresiatif dengan penerbitan karya ini.
Bahkan, konon mereka mengharapkan ia bisa melanjutkan karya tafsirnya hingga
mencakup seluruh ayat Al Quran, walaupun hal ini tidak sempat terealisasikan
sampai ajal menjemputnya.
Tulisan terakhir yang sempat diterbitkan oleh surat
kabar al-Ahram berjudul Ali bin Abi Talib Karrama Allah Wajhah, tanggal 26
Februari 1998. Pada hari Selasa, 1 Desember 1998, Bint Syathi’ menghembuskan
nafas terakhirnya. Wafat dalam usia 85 tahun, karena serangan jantung mendadak.
Bint Syathi’ telah meninggal dunia tapi namanya akan selalu hidup dan dikenang
karena telah memberikan sumbangsih untuk kemajuan ilmu-ilmu Islam di bidang Tafsir.
Binthu Syathi’ dan Kitab Tafsir Al Bayani li
Al Quran Al Karim
Dalam
karyanya Al Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim, Bint Syathi’
menggunakan pendekatan sastra dan menafsirkan ayat berdasarkan kronologis
turunnya dengan tidak mengikuti susunan surah dalam mushaf Al Quran. Menurutnya
bahwa dalam menafsirkan Al Quran hendaknya seorang mufasir beracu pada urutan
ayat atau surah berdasarkan tertib turunnya.[6]
Prinsip
umum Bint Syathi’ dalam menafsirkan Al Quran, berpegang kepada tiga hal, yakni pertama,
Al Quran menjelaskan dirinya dengan dirinya sendiri (Al Quran yufassir
ba’dluhu ba’dla), kedua, Al Quran harus dipelajari dan difahami
keseluruhannya sebagai suatu kesatuan dengan karakteristik-karakteristik
ungkapan dan gaya bahasa yang khas, ketiga, penerimaan atas tatanan
kronologis Al Quran dapat memberikan keterangan sejarah mengenai kandungan Al Quran
tanpa menghilangkan keabadian nilainya.
Yang
sangat penting dari tafsirnya - meskipun tidak selesai seluruh Al Quran- adalah
metode yang digunakannya. Secara jujur ia mengatakan bahwa metode tersebut diperoleh dari Guru Besarnya di Universitas
Fuad I yang belakangan menjadi suaminya. Bint Syathi’ mengikhtisarkan
prinsip-prinsip metode itu, seperti yang tertulis dalam Manahij Tajdid ke
dalam empat butir:
1.
Basis metodenya adalah
memperlakukan apa yang ingin dipahami dari Al Quran secara objektif, dan hal
ini dimulai dengan pengumpulan semua surah dan ayat mengenai topik yang ingin
dipelajari.
2.
Untuk memahami gagasan yang
terkandung dalam Al Quran, menurut konteksnya, ayat-ayat disekitar gagasan itu
harus disusun menurut tatanan kronologis pewahyuannya, hingga keterangan
mengenai wahyu dan tempat dapat diketahui. Riwayat tradisional mengenai
“peristiwa pewahyuan” dipandang sebagai sesuatu yang perlu dipertimbangkan
hanya sejauh dalam pengertian bahwa peristiwa itu merupakan keterangan
kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan ayat tidak sampai pada tujuan atau
sebab kenapa pewahyuan itu terjadi. Pentingnya pewahyuan terletak pada
generalisasi kata-kata yang digunakan, bukan pada kekhususan peristiwa
pewahyuannya.
3.
Karena bahasa Arab adalah
bahasa yang digunakan dalam Al Quran maka untuk memahaminya harus dicari arti
linguistik aslinya yang memiliki rasa keakraban kata tersebut dalam berbagai
penggunaan material dan figuratifnya.
4.
Untuk memahami
pernyataan-pernyataan yang sulit, naskah yang ada dalam susunan Al Quran itu
dipelajari untuk mengetahui kemungkinan maksutnya. Dalam hal ini seluruh
penafsiran yang bersift sekterian dan Isra’iliyyat yang mengacaukan
harus disingkirkan.[7]
Dalam
rangka menjaga orisinalitas dan cita rasa kebahasaan Al Quran, Bint Syathi
mengajukan beberapa cara untuk
menyingkirkan unsur luar dan asing dalam pemahaman Al Quran. Pertama,
Bint Syathi menolak campur tangan israilliyat dalam membantu menjelaskan
makna Al Quran. Disebabkan Al Quran menurutnya berbicara menggunakan bahasa
universal dengan menampilkan teladan-teladan moral, tidak menguraikan ungkapan
detail setiap kejadian yang bersifat mistis dan historis. Kedua,
menghindari pembahasan tentang kaitan Al Quran dengan sains modern. Ayat-ayat
yang ada dalam Al Quran dipandang memiliki makna sendiri yang instrinsik dan
hanya dapat difahami dengan mempelajari dalam konteksnya sendiri, bukan sebagai
pelajaran dalam berbagai sains modern yang berbeda-beda atau bukti tekstual
yang sejalan dengan teori mutakhir dalam lapangan pengetahuan modern.[8]
Bintu Syathi’ sangat khawatir
dengan adanya paham sekterian dan Isra’illiyat yang masuk ke dalam tafsir para
mufasir klasik. Yang demikian ini tentu saja berpengaruh terhadap pemahaman
kitab agama Islam karena penjiwaan dan pengaruh kondisi-kondisi lokal. Hal ini
masih ditambah dengan penafsiran mufasir yang mengarahkan nash namun
kekurangan cita rasa bahasa Arab yang jernih dan asli. Kadang-kadang arahnya
pun menyeleweng, karena fanatisme sesat, kesalahan metodologis, atau pemahaman
yang dangkal.[9]
Meskipun begitu, Bint Syathi’
tidak mengingkari hasil karya mufasir sebelumnya. Merekalah yang telah
mencurahkan usaha yang besar dalam berkhidmah pada Al Quran meskipun belum
secara objektif. Bint Syathi’ mengatakan

“ Kesamaan penerimaan terhadap kitab agung ini
tidak akan terjadi, kecuali kita berusaha keras dalam mengkaji, memahami dan
menjiwainya dengan metode yang akurat dan objektif, yang melampaui tirai
sekterianisme dan cita rasa yang asing, lalu memasuki esensi dan puncak
kejernihan Al Quran serta orisinalitasnya.”


Yang utama dalam metode ini adalah penguasaan tema
untuk mengkaji satu tema yang ada di dalamnya, lalu menghimpun semua tema di
dalam Al Quran, mengikuti kelaziman lafadz-lafadz dan ungkapan-ungkapan,
sesudah membatasi makna bahasa.
Selanjutnya,
dalam tataran pelaksanaan metode penafsiran, baik dalam bentuk tahliliy maupun
maudhu’iy dan metode- metode lainnya, ia menekankan pentingnya memahami
petunjuk lafal dengan cara pendalaman makna bahasa arab yang orisinal. Sebagai contoh yang dapat dikemukakan uraian Bint
Syathi’ketika menafsirkan surah al Dhuha yang diawali dengan mengemukakan berbagai
riwayat tentang asbab al nuzul ayat dan menyimpulkan bahwa perselisihan diseputar ayat tersebut, sebab asbab al-nuzul
tidak lebih dari qarinah-qarinah (konteks-konteks) di seputar nash.
Prinsipnya tentang asbab al-Nuzul dikemukakannya :
ولا نقف عندما اختلفوا فيه, فأسباب
النزول لا تعدو ان تكون قرائن مما حول النص, وهي باعتراف الاقدمين أنفسهم لا تخلو من
وهم, والاختلاف فيها قديم,
وخلاصة ما انتهى اليه قولهم فى اسباب النزول, أنها ما نزلت إلا أيام
وقوعه, وليس السبب فيها, بمعنى السببية الحكمية العلية[10]
Kita
tidak perlu membahas perselisihan mereka diseputar ayat tersebut, sebab asbab
al-nuzul tidak lebih dari qarinah qarinah (konteks-konteks) diseputar nash.
Menurut orang orang terdahulu, asbab al-nuzul tidak lebih dari waham.
Perselisihan mengenai hal itupun sudah berjalan lama. Ringkasnya, pendapat
mereka mengenai Asbab al-nuzul adalah bahwa ia merupakan peristiwa yang di situ
ayat tidak turun kecuali pada saat-saat terjadinya peristiwa tersebut, dan
bukan merupakan penyebab turunnya surah dalam pengertian sebab akibat”.
Selanjutnya ia menjelaskan tentang قسم (sumpah) dengan
huruf wawu (والضحى) dengan
mengemukakan pendapat pakar seperti Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah yang mengatakan
bahwa sumpah Allah dengan makhluknya membuktikan bahwa ia termasuk tanda-tanda
kekuasaaannya yang besar dan Syaikh Muhammad Abduh yang menjelaskan aspek
keagungan dalam sumpah dengan waktu dhuha. Menurutnya, sumpah dengan cahaya
dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya cahaya dan besarnya kadar kenikmatan
di dalamnya, sekaligus untuk menarik perhatian kita bahwa yang demikian
termasuk tanda-tanda kekuasaannya yang besar dan nikmat-nikmatnya yang agung.
Bint Syathi’ setelah mengungkap kedua
pandangan ulama tersebut, sekaligus mengritiknya. Bint Syathi’menilai ketika
menjelaskan makna wawu dalam surah al-Dhuha bahwa mereka mencampuradukkan
keagungan dengan hikmah makhluk yang digunakan untuk bersumpah.
Ia memaknai sumpah-sumpah yang tersebut
dalam surah al Dhuha sebagai ayat yang menjelaskan makna-makna petunjuk dan
kebenaran, atau kesesatan dan kebatilan, dengan materi-materi cahaya dan
kegelapan. Penjelasan yang maknawi (abstrak) dengan yang hissi (konkret) ini
dapat dilihat pada sumpah-sumpah Al Quran dengan wawu. Yang demikian dapat
diterima tanpa paksaan dalam pentakwilan ayat-ayat.[11]
Muqsam bih di dalam dua ayat surah al Duha adalah
gambaran bersifat fisik dan realita konkret, yang setiap hari dapat disaksikan
manusia ketika cahaya memancar pada dini hari. Kemudian turunnya malam ketika
sunyi dan hening tanpa mengganggu sistem alam. Silih bergantinya dua keadaan
dapat menimbulkan keadaan, dapat menimbulkan keingkaran, bahkan sebagai sesuatu
yang tidak terlintas dalam pikiran siapapun. Bahwa setelah datangnya wahyu yang
menerangi Muhammad SAW, datang saat-saat kosong dari wahyu yang terputus.
Seperti malam sunyi yang kita saksikan datang setelah waktu dhuha yang
cahayanya gemerlapan. Inilah yang diyakini dalam tafsir bayani tentang
sumpah dengan waktu dhuha dan malam ketika sunyi.[12]
Sistematika
Penulisan Kitab Tafsir Bint Syathi’
Dalam menafsirkan kata al Dhuha, Bint Syathi’ lebih
dahulu menjelaskan penafsiran mufasir terdahulu yang telah menafsirkan menurut
pandangan dan metode masing-masing. Sebagai contoh, Bint Syathi’ mengungkap
penafsiran Abduh:
“ Untuk itu, Allahpun bersumpah, bahwa
Dia mengisyaratkan terangnya wahyu pada hati beliau pada mulanya seperti waktu
dhuha yang menguatkan kehidupan dan menumbuhkan tetumbuhan. Sesudah itu,
seperti malam hari ketika telah sunyi agar segala potensi beristirahat dan jiwa
bersiap-siap untuk menghadapi pekerjaan. Sebagaimana dimaklumi pada awalnya
Nabi menerima wahyu dengan berat, sehingga keterlambatan wahyu adalah untuk
memantapkan dan menguatkan jiwa, guna memikul apa yang akan dihadapi. Sehingga
sempurnalah hikmah Allah dalam mengutus beliau kepada makhluk-Nya.”[13]
Bint syathi’ memberikan komentar
perihal pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa pertimbangan bayani
dari penafsiran tersebut menyesatkan di tengah pembicaraan ini, bahwa pada
waktu dhuha kehidupan menguat dan tetumbuhan menggeliat. Sedangkan pada malam
hari kekuatan beristirahat dan jiwa bersiap-siap untuk menghadapi esok. Begitu
pula dengan penafsiran Ibn Qayyim Al Jauziyyah dan Ibnu Jarir Al Thabari yang
menurut Bint Syathi’ belumlah menjelaskan secara detail makna al Dhuha. Setelah
membandingkan penafsiran mengenai dhuha, Bint Syathi’ menafsirkan dhuha
dengan kemahiran linguistiknya.
Bahasa mendefinisikan dhuha
sebagai waktu tertentu di siang hari, dan dengan itu pula dinamakan Shalat
Dhuha karena dilakukan pada waktu tersebut. Unta yang disebut Al Dhahiyah
adalah unta yang minum pada waktu dhuha. Jika mereka mengatakan dhuha fulan
ghanamah maka kalimat berarti si Fulan mengembala kambingnya pada waktu
dhuha. Dan dhahha bi al syah jika dia mengurbankan kambingnya di waktu
dhuha pada hari kurban. Ini asal kata menurut lisanul Arab.
Petunjuk yang jelas adalah petunjuk
yang tampak dalam semua pemakaian kata itu secara konkret pada materinya. Misalnya,
dhahiyah adalah langit, dan dari sini dikatakan bahwa apa yang tampak
dan jelas adalah dhahiyah. Dan mudhhah adalah daerah yang
disinari matahari. Dan dhaha al thariq adalah jalan yang tampak dan
jelas. Mereka mengatakan orang yang muncul dari arah sinar matahari dengan dhaha,
dhahwan, dhuhuwwan dan dhuhiyyan.
Dari ihwal kejelasan dan ketampakan
yang tersirat di dalam penggunaan-penggunaan yang konkrit bagi materi ini,
dikatakan bahwa fa’ala fulan kadza dhahiyatan (Si Fulan melakukan ini
secara terang-terangan). Namun penggunaan kata dhuha yang paling banyak
yaitu untuk menunjukkan waktu tertentu dari awal siang, yang lebih sedikit dari
naiknya siang, ketika matahari telah sempurna terangnya. Karena itu dikatakan adhha
fulan apabila seseorang berada pada waktu dhuha.
Setelah menjelaskan kata dhuha melalui
pemahaman linguistik berlanjut kepada pengumpulan ayat-ayat Al Quran –
penggunaan Qurani – yang didalamnya terdapat kata dhuha. QS Al Naziat:
46 kata dhuha sebagai lawan kata ‘asyiyyah (senja hari), QS Al
Naziat: 29 membandingkan siang yang terang benderang dengan malam gelap gulita,
QS Al A’raf digunakan sebagai zharf zaman (keterangan waktu) bagi
sebagian waktu siang hari dan QS Thaha: 59 dengan waktu matahari sepenggalahan
naik. QS Thaha ini menjauhkan tafsiran waktu dhuha sebagai siang seluruhnya.
Pengertian semacam ini juga dijauhkan
oleh ayat dalam surah Al Syam. Disitu tidak terlihat makna menjadi sempurna
jika menafsirkannya dengan siang hari. Sehingga dikatakan bahwa “Demi matahari
dan siang harinya.” Tetapi dhuha adalah “waktu membentangnya matahari” seperti
Al Raghib dalam Mufradatnya. Atau ia adalah “permulaan siang ketika
matahari naik dan tampak kekuasaannya” seperti kata Al Naisaburi di dalam Gharaibnya.
Adapun Saja Al lail adalah
ketenangan atau keredaan malam. Itulah yang sesuai dengan situasi secara bayani,
bukan datang atau berpalingnya malam seperti apa yang dikatakan oleh para
mufasir. Tidak ada kosa kata saja di dalam Al Quran kecuali di tempat
ini. Namun pengertian sebagai antonim dhuha, menjadikan kami yakin bahwa saja
Al lail adalah saat ketenangan dan keheningan malam, sesuai apa yang
dikenal dalam bahasa arab bahwa ketika menggunakan kalimat tharfun sajin (pandangan
yang tenang) dan bahrun sajin (pandangan yang tenang).
Bint Syathi’ memberikan kesimpulan
perihal qasam dengan dhuha dan malam yang telah sunyi, merupakan
penjelasan gambaran yang konkret dan realitas yang dapat dilihat, yang
dipersiapkan untuk situasi yang sebanding yang tidak konkret dan tidak dapat
dilihat. Yaitu terhentinya wahyu sesudah muncul dan terang.
Penilaian
atas Pemikiran Bint Syathi’[14]
Keberatan yang diajukan oleh kritikus
tafsir terhadap metode Bint Syathi’ adalah kemungkinan pergeseran makna ayat
mengingat rentang waktu yang lama dari masa turunnya Al Quran yaitu 22 hingga
23 tahun. Ungkapan dan gaya ayat-ayat pada masa awal pewahyuan tidak harus sama
dengan yang turun kemudian. Bint alSyathi’ menjawab persoalan ini dengan
menekankan bahwa proses deduksi digunakan untuk menemukan makna fenomena
linguistik dan gaya Al Quran yang tersatukan secara kronologis dapat membawa
kita pada makna Qurani dari fenomena-fenomena tersebut, dan bahawa
fenomena-fenomena itu secara keseluruhan bersifat konsisten.
Argumentasi lain yang juga dilontarkan
untuk menolak metode Bint Syathi’ adalah bahwa para mufassir klasik tampaknya
tidak selamanya setuju mengenai “sebab-sebab pewahyuan” (Asbaab alnuzul) dan
sekiranya laporan-laporan mengenai hal ini turut dimanfaatkan dalam menafsirkan
Al Quran, maka hasilnya akan dikacaukan oleh adanya perselisihan pendapat di
sekitar masalah tersebut. Untuk menjawab masalah tersebut, Bint Syathi’ menolak
keberatan ini dengan menyatakan bahwa perselisihan pendapat mengenai
“sebab-sebab pewahyuan” pada umumnya disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka
yang hidup sezaman dengan masa diturunkannya sebuah ayat atau surat
mengasosiasikan ayat atau surat itu dengan apa yang masing-masing mereka anggap
sebagai sebab diturunkannya ayat.
Sementara itu, metode yang diusulkannya
menolak untuk menganggap setiap peristiwa dalam asbaab al nuzul tersebut
sebagai sebab atau bahkan tujuan dari turunnya wahyu, tapi sekedar merupakan
“rambu-rambu” eksternal dari pewahyuan itu, sehingga penekanannya diletakkan
pada universalitas makna dan bukan pada kehususan kondisi tersebut.
Argumentasi terakhir yang diajukan oleh
kritikus Al-Qur’an untuk melemahkan metode yang diusung oleh Bint al-Syathi’
adalah bahwa bahasa Arab yang digunakan pada masa Nabi Muhammad, sebagai yang
diabadikan dalam syair-syair lisan dan prosa yang dikodifikasi kemudian
mengindikasikan adanya penggunaan kosa-kata (mufradât) atau uslûb bahasa yang
tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau berbeda dengan apa yang digunakan dalam
Al-Qur’an. Sebagai konsekuensinya, mendasarkan diri pada rasa keakraban untuk memahami
mufradât Al-Qur’an dalam berbagai penggunaannya, adalah sama dengan membuka
pintu bagi masuknya unsur-unsur asing ke dalam pemahaman atas teks Al-Qur’an.
Penutup
Corak dan metode penafsiran seseorang
sangat dipengaruhi oleh latar belakang intelektualnya. Bint Syathi’ misalnya
sebagai salah seorang ahli tafsir dengan latar belakang sastara tentunya
berusaha untuk melihat Al Quran dari segi sastra. Bint Syathi’ yang dikenal
sebagai pengagum Amin Al Khuli, secara langsung mengakui bahwa metode yang
diterapkan dalam tafsirnya “berkiblat” kepada metode yang telah diusung oleh
suaminya, Al Khuli. Metode tersebut menggunakan pendekatan tematik (maudhu‘i)
dalam menafsirkan Al Qur’an dan menekankan perlunya interpretasi berdasar pada kronologis teks dan penggunaan
semantik bahasa Arab. Pendekatan tematik ini lahir sebagai respon terhadap
metode penafsiran klasik yang oleh pakar Al Quran kontemporer dinilai parsial
dan atomistik. Secara umum dapat dikatakan bahwa metode yang diterapkan oleh Bint
Syathi’ dalam tafsirnya yang memuat 14 surah Makkiyah awal yang berjudul Al
Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim bercorak sastra (literary exegesis)
yang didesain menjadi interpretasi inter-teks Al Quran yang secara metodologis,
dapat dikategorikan modern.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman,Aisyah,1990, Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim, (Kairo:
Dar Al Ma’arif)
Fatimah Bintu Thohari, “Aishah
‘Abd al Rahman bint al Shati’: Mufasir Wanita Zaman Kontemporer”, DIROSAT:
Journal of Islamic Studies, (Vol.1, No.1, Januari-Juni 2016)
H. Muchlis Nadjamuddin,
“Kontribusi Penafsir Wanita (Suatu Kajian Metodologis Tafsir Bintusy Syathi’)”,
MUSAWA, (Vol.6, No.2, Desember 2014)
Nasaiy Aziz, “ Metode
Penafsiran Al Quran Versi Bint Syathi’ “, Al Mu’ashirah, (Vol.10, No.1,
Januari 2013),
Wahyuddin, “Corak dan Metode Interpretasi
Aisyah Abdurrahman Bint Syathi’”, Al Ulum, (Vol.11, No.1, Juni 2011)
[1] Fatimah Bintu Thohari, “Aishah ‘Abd al Rahman
bint al Shati’: Mufasir Wanita Zaman Kontemporer”, DIROSAT: Journal of
Islamic Studies, (Vol.1, No.1, Januari-Juni 2016), hlm. 88
[2]
Biografi Bint
Syathi’ seleruhnya Penulis ambil dari Fatimah Bintu Thohari, “Aishah ‘Abd al
Rahman bint al Shati’: Mufasir Wanita Zaman Kontemporer”, DIROSAT: Journal
of Islamic Studies, (Vol.1, No.1, Januari-Juni 2016), hlm. 90-91
[3] Issa J Boullata, dalam Aisyah
Abdurrahman, Tafsir Bintusysyathi’, terj. Muzakir Abdussalam, (Bandung:Mizan,
1996, Cet. I), hlm. 9
[4] Nasaiy Aziz, “
Metode Penafsiran Al Quran Versi Bint Syathi’ “, Al Mu’ashirah, (Vol.10,
No.1, Januari 2013), hlm. 37
[5]
Issa J Boullata,
dalam Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintusysyathi’, hlm. 10
[6]
H. Muchlis Nadjamuddin, “Kontribusi Penafsir
Wanita (Suatu Kajian Metodologis Tafsir Bintusy Syathi’)”, MUSAWA,
(Vol.6, No.2, Desember 2014), hlm.323
[7]
Lihat kata pengantar
cetakan kelima Aisyah Abdurrahman, Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim, (Kairo:
Dar Al Ma’arif, 1990), hlm. 10-11
[8]
Issa J Boullata,
dalam Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bintusysyathi’, hlm. 18-19
[9]
Aisyah
Abdurrahman, Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim, (Kairo: Dar Al
Ma’arif, 1990), hlm. 15
[10] Aisyah Abdurrahman, Tafsir Al Bayani li Al Quran Al Karim,
hlm.23
[11] Aisyah
Abdurrahman, Tafsir Al Bayani li al-
Quran al- Karim, hlm.51
[12] Aisyah Abdurrahman, Tafsir Al Bayani li al- Quran al- Karim, hlm. 52
[13] Muhammad
Abduh, Tafsir Juzz Amma, hlm. 95
[14] Wahyuddin, “Corak dan Metode Interpretasi
Aisyah Abdurrahman Bint Syathi’”, Al Ulum, (Vol.11, No.1, Juni 2011),
hlm. 88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar