Problem Kemiskinan Dan Perwujudan
Kesejahteraan Sosial Dalam Perspektif Al
Quran
ABSTRAC
Poverty is a problems of life, it’s hard to be
solved completely. Indonesia as one of
developing country still find many people with strata lame life. Problem
proverty can not finish if goverment or community around him not give their special attention to this problem.
Discourse about this problem was many planned by many people with books, a
short article another. Al Quran as a guideline islamic people expalin this
problem. If we look chronology of revelation in Al Quran so we will found ways
give some helps for poor community and punishment for we are rich people but
not give some helps to poor community. Thourgh a special procces and strategy,
decrease problem provety will positive impact to form social walfare in element
life people community. Social walfare have a realition with problem
provety. More decreasing provety so will
increas chance to consummate social walfare.
Keyword: prevety, social walfare, Al Quran
ABSTRAK
Kemiskinan sebagai sebuah problematika
kehidupan memang sesuatu yang sulit untuk dipecahkan secara tuntuas. Indonesia
sebagai salah satu Negara berkembang di dunia masih banyak menemukan masyarakat
dengan strata kehidupan yang timpang. Problem kemiskinan tidak akan selesai
jika pemerintah maupun masyarakat di sekitarnya kurang memberikan perhatian
khususnya terhadap hal tersebut. Wacana mengenai problem ini memang sudah
banyak dicanangkan baik berupa buku, tulisan singkat ataupun yang lainnya. Al
Quran sebagai pedoman umat Islampun menjelaskan problem tersebut. Jika melihat
kronologi turunnya Surah dalam Al Quran maka akan ditemukan cara-cara pemberian
bantuan kepada kaum miskin begitu juga dengan hukuman bagi mereka yang mampu
akan tetapi enggan memberikan bantuan terhadap sesamanya yang lebih
membutuhkan. Melalui proses dan strategi tertentu, mengurangi problem
kemiskinan akan berdampak positif pada terbentuknya kesejahteraan sosial pada
elemen kehidupan masyarakat. Kesejahteraan sosial memang erat kaitannya dengan
problem kemiskinan. Semakin berkurangnya kemiskinan maka akan bertambahnya peluang
untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Kata kunci : kemiskinan, kesejahteraan sosial,
Al Quran
Pendahuluan
Al Quran bagi kaum Muslimin adalah verbum
dei (kalam Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat
Jibril. Kitab suci ini memiliki kekuatan yang luar biasa di luar kemampuan
apapun. Kandungan pesan Illahi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke 7
itu meletakkan dasar untuk kehidupan sosial dan individual kaum Muslimin dalam
segala aspeknya. Bahkan, masyarakat Muslim mengawali eksistensinya dan
memperoleh kekuatan hidup dengan merespon dakwah Al Quran. Itulah sebabnya, Al
Quran berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman
keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap Al Quran, kehidupan,
pemikiran dan kebudayaan kaum Muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Al Quran memang tergolong ke dalam sejumlah
kitab suci yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap jiwa manusia.
Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku,
menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara
berbagai harapan, memperkukuh identitas kolektif[1]
dan juga mencari jalan keluar untuk berbagai macam masalah kehidupan sosial.
Masalah kehidupan sosial memang banyak dibahas
di dalam Al Quran. Salah satunya problem kemiskinan yang menjadi kendala
terciptanya kesejahteraan sosial secara merata. Kemiskinan berkali-kali
disebutkan dalam ayat Al Quran. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa ayat yang
menggunakan kata miskin atau masakin. Akan tetapi yang perlu dikaji
lebih jauh adalah solusi yang diberikan Al Quran mengenai mereka. Untuk
mengetahui dan menemukan serta menjelaskan lebih jauh mengenai solusi yang
ditawarkan oleh Al Quran mengenai masalah ini, maka penulis ingin
menginformasikan kepada masyarakat muslim, bahwa Al Quran sangat besar
perhatiannya kepada kaum miskin.
Profil kaum miskin
Diskursus tentang kemiskinan terus mangalami
perkembangan seiring dengan pertumbuhan bentuk-bentuk kemiskinan dan perubahan
ruang dan waktu. Dalam tradisi diskursus Barat dikenal ada dua cabang besar
pembahasan tentang kemiskinan yang telah mengalami pembentukan dan kristalisasi
selama satu periode lebih dari dua abad lamanya. Tradisi pertama adalah
perspektif liberal model Anglo Saxon. Tradisi liberal ini memberikan perhatian
pada interaksi kompetitif di bawah situasi kelangkaan dan hakikat tingkatan kolektif
yang melahirkannya. Tradisi kedua adalah perspektif mekantilis kontinental yang
menekankan pada pemanfaatan sumber daya manusia untuk memperkaya negara. Kaum
miskin diperlakukan seperti kambing potong yang dibudidayakan untuk kejayaan
kaum kaya.[2]
Kaum kaya dan kaum miskin terjadi akibat adanya
stratifikasi sosial pada kehidupan masyarakat. Stratifikasi adalah proses atau
struktur masyarakat yang dibedakan ke dalam lapisan-lapisan secara bertingkat.[3]
Dalam hal ini ada dua istilah yang digunakan dalam stratifikasi yaitu kelas dan lapisan. Keduanya mempunyai
pengertian paralel tanpa membedakan apakah dasar lapisan berupa faktor uang,
tanah, kekuasaan, atau dasar lainnya. Kelas sosial menurut Bruce J Cohen
dikemukakan sebagai suatu unit masyarakat yang berbeda dari masyarakat lainnya
dalam hal nilai, prestise, kegiatan, kekayaan, dan milik-milik pribadi lainnya
serta etika pergaulan mereka.[4]
Sistem pelapisan sosial masyarakat mempunyai
dua sifat yaitu tertutup (close Social Stratification) dan sistem
terbuka (Open Social Stratification), adapun yang bersifat tertutup
adalah terbatasnya kemungkinan seseorang berpindah kelas yang satu kepada kelas
yang lain. Seseorang yang telah menempati lapisan bawah maka akan sulit baginya
untuk naik ke kelas yang lebih tinggi, demikian pula sebaliknya. Close Social Stratification ini dapat
dilihat pada kelas sosial yang didasarkan atas ras, kebangsawanan dan jenis
kelamin.[5]
Sistem terbuka (Open Social Stratification)
adalah setiap anggota masyarakat mempunyai peluang untuk naik ke lapisan yang
lebih tinggi. Bagi masyarakat yang telah menempati lapisan atas maka ada
kemungkinan akan turun menjadi kelas masyarakat lapisan bawah.[6]Sistem
terbuka ini terdapat pada kelas sosial yang didasarkan pada kekayaan atau
ekonomi, pendidikan dan jabatan. Sistem ini membiarkan masyarakatnya untuk
bersaing.
Sistem
terbuka ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik yang mencatat bahwa
jumlah masyarakat miskin pada Maret 2016 dengan jumlah penduduk miskin (penduduk
dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia
mencapai 28,01 juta orang (10,86 persen), berkurang sebesar 0,50 juta orang
dibandingkan dengan kondisi September 2015 yang sebesar 28,51 juta orang (11,13
persen).[7] Hal
ini membuktikan bahwa kelas sosial dengan sistem terbuka dapat berubah tergantung
pada usaha, kerja keras dan prestasi yang diperoleh.
Perubahan kelas dalam stratifikasi sosial masyarakat
bawah menuju ke lapisan atas menunjukkan bahwa adanya perbaikan kehidupan dari
kesenjangan menuju kesejahteraan sosial. Dalam khazanah ilmu-ilmu sosial
disebutkan bahwa mengembangkan tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan usaha
kesejahteraan sosial yang mencakup lima bidang utama yang disebut dengan big
five, yaitu bidang kesehatan, bidang pendidikan, bidang perumahan, bidang
jaminan sosial, dan bidang pekerjaan sosial.[8]Dalam
hal ini kesejahteraan sosial mengacu pada kebijakan pemerintah dalam memberikan
pelayanan kaum miskin dalam segala bidang agar kehidupan mereka lebih
sejahtera. Selain kebijakan pemerintah, kesejahteraan sosial juga merupakan
tanggung jawab masyarakat terhadap sesamanya yang tidak sanggup memenuhi
kebutusan dasar dalam segala bidang.
Tingkat keberhasilan
intervensi atau penanganan masalah sosial sangat bergantung pada
tiga variabel fundamental yaitu pertama, aspek pengaturan tentang
kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial dan pekerjaan sosial yang
profesional dengan manajemen yang efektif dan efisien dalam penanganan masalah
sosial. Secara umum masyarakat yang mampu mengatur dan mengatasi masalah sosial
memiliki kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang
tidak dapat mengatur masalah-masalah sosial. Kedua, mengidentifikasi
nilai-nilai budaya dan agama serta faktor teknis yang mendorong dan menghambat
suatu komunitas atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan asasi manusia. Budaya
konsumtif, boros, dan pola hidup yang mubadzir menjadi penghambat satu keluarga,
kelompok atau masyarakat dalam memnuhi kebutuhan asasinya. Sebaliknya, pola
hidup hemat merupakan fondasi sosial membuka peluang bagi sebuah keluarga,
komunitas atau masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya. Ketiga,
rakyat miskin yang belum merasakan kesejahteraan tidak seharusnya dijadikan
obyek layanan sosial secara terus menurus tanpa adanya program pemberdayaan
yang memberikan kesempatan mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya. [9]
Kata miskin berasal dari kata sakana yang berarti diam, tetap dan
statis. Menurut Ar Raghib Al Ashfahani mendefinisikan miskin sebagai seseorang
yang tidak memiliki sesuatu apapun. Oleh karena itu mereka yang terkandung
dalam perkataan miskin lebih rendah dibandingkan dengan makna yang tersirat
pada kata fakir.[10]
Berbeda
dengan Ar Raghib Al Ashfahani, Imam Syafi’i menjelaskan miskin adalah orang
yang masih mempunyai kekuatan untuk bekerja akan tetapi tidak dapat mencukupi
kebutuhan kehidupannya. Hal tersebut disandarkan pada Al Quran surah Al Kahfi
[18]:79. Menurutnya orang miskin keadaannya
lebih baik dibandingkan dengan seorang fakir karena yang miskin masih
memiliki modal untuk mencari rezeki,
berbeda dengan fakir.[11]
Dari kedua definisi tersebut jika dilihat
kembali dari aspek kebahasaan, mengisyaratkan bahwa istilah miskin terjadi
akibat dari keadaan diri seseorang atau sekelompok yang lemah. Ketika seseorang
tidak berhasil mengembangkan potensi dirinya secara optimal yakni potensi
kecerdasan, mental, dan keterampilan, maka keadaan itu akan berakibat langsung
pada kemiskinan yakni ketidakmampuan mendapatkan, memiliki dan mengakses
sumber-sumber rezeki sehingga ia tidak memiliki suatu apapun untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Jika diteliti lebih lanjut melalui
aspek kebahasaan kata miskin yang berasal dari kata sakana maka akan
ditemukan terdapat dalam beberapa ayat
dengan perubahan-perubahan kata tersebut. Kata sakana dapat berubah
menjadi sakantum, sakinah, sikkina,
masakin, miskinan. Kata-kata tersebut tidak semuanya berkonotasi pada
kemiskinan ataupun kaum miskin. Seperti pada kata masakinihim yang terdapat pada Thaha[20]:128 tidaklah menunjukkan
kaum miskin ataupun kemiskinan akan tetapi menunjukkan arti tempat tinggal.
Berasal dari kata sakana yang
memiliki arti diam maka kata tempat tinggal juga diartikan sebagai sebuah
tempat kediaman seseorang.
Berkenaan dengan fenomena kemiskinan,
Al Quran menyebut miskin dalam bentuk tunggal miskin sebanyak 11 kali seperti terlihat dalam Surah Al Qalm[68]:24,
Al Mudatsir[74]:44, Fajr[89]:18, Al Ma’un[107]:3, Al
Balad[90]:16, Al Isra’[17]:26, Al Kahfi[18]:79, Al Haqqah[69]:34,
Ar Rum[30]:38, Al Baqarah[2], Al Insan[76]:8.[12]
Surah tersebut diururtkan menurut kronologi turunnya surat[13]
– tartib nuzuli- dengan tujuan mengetahui definisi kaum miskin secara
mendalam dan mengetahui cara-cara yang dapat digunakan untuk pengentasan
kemiskinan menuju kesejahteraan sosial.
Dalam surah Al Qalm dan Al Mudatsir
menjelaskan mengenai ujian dan balasan bagi mereka yang enggan membantu dan
memberikan sebagian kelebihan hartanya untuk kaum miskin. Dalam firmannya,
Allah telah menjelaskan ujian seseorang yang mempunyai niat buruk kepada kaum
miskin yakni dengan mengambil kembali apa yang telah diberikannya kepada si kikir.
Kemudian, Al Mudatsir menjelaskan tentang ancaman Allah untuk mereka yang kikir
berupa balasan akan dimasukkannya ke dlam neraka saqar. Hal ini yang perlu
diperhatikan oleh masyarakat atau komunitas mereka yang mempunyai harta lebih
untuk menyadari bahwa harta adalah sebuah titipan yang akan diambil kapanpun
oleh pemiliknya.
Dalam tafsir Al Misbah dijelaskan bahwa dalam
surah Al Qalm Larangan kaum miskin
masuk ke kebun. Maksudnya, larangan masuk terhadap mereka satu sama lain agar
tidak memasukkan orang miskin. Ia menunjukkan betapa kuat tekad mereka untuk
mencegah masuknya kaum miskin. Ketika seorang menyampaikan masalah ini salah
seorang diantaranya berkata bahwa janganlah berlaku demikian lebih baik kita
beri juga bagian orang miskin seperti halnya orang tua kita terdahulu. Namun
sarannya tidak terima dan akhirnya diapun mengalah mengikuti kehendak kedua
saudaranya yang tua dan yang muda. Sebelum ini dia – yang tengah- telah menegur
mereka ketika tidak mengucap Insya Allah. Hal ini dipahami dari ayat-ayat yang
menjelaskan perkataan si tengah.[14]
Kebakhilan
seorang manusia akan menyebabkan adanya ketidak harmonisan hubungan sosial
kemanusiaan. Seperti yang dimaksudkan dari (74:44) bahwa tidak menunaikan ibadah zakat dan
tidak adanya keharusan bersedekah adalah salah satu lambang keburukan hubungan
mereka terhadap sesama manusia.[15]
Dalam Surah Fajr, Allah juga menjelaskan mengenai mereka yang
terlalu cinta dengan kekayaannya akan sangat berdampak buruk terhadapnya dan
orang disekitarnya. Uraian utama Surah ini adalah ancaman kepada kaum musyrikin
Mekkah jangan sampai mengalami siksa yang telah dialami oleh para pendurhaka yang jauh lebih perkasa dibanding
mereka, sekaligus berita gembira serta pengukuhan Nabi Muhammad dan kaum
muslimin yang pada masa turunnya Surah ini masih tertindas oleh kaum musyrikkin
Mekkah. Surah ini juga merupakan celaan kepada mereka yang memiliki
ketergantungan sangat bersar terhadap dunia sehingga menghasilkan kesewenangan
dan kekufuran.[16]
Ketergantungan terhadap dunia terjadi
karena sebuah ujian Allah berupa kekayaan yang berlimpah. Manusia jika
diberikan ujian kekayaan maka dia akan melupakan keharusan bersedekah kepada
orang miskin kecuali orang-orang yang bertakwa yang mau membagikan hasil
keringatnya untuk saudara yang membutuhkan.
Kekayaan membutakan segalanya. Mereka
yang telah diberikan kekayaan melupakan anak yatim, orang miskin yang lebih
membutuhkan dan merekapun dengan indahnya memakan harta warisan yang tidak
seharusnya menjadi miliknya sampai pada kecintaan kepada hartanya dengan sangat
berlebihan.
Dalam Surah Al Ma’un ini Allah mengecam
mereka yang berkemampuan akan tetapi enggan, jangankan memberi, menganjurkanpun tidak sama sekali. Ketika itu
bahwa ada seseorang yang konon setiap minggu menyembelih seekor unta. Kemudian
datanglah seorang anak yatim yang meminta sedikit daging untnya namun ia tidak
memberinya akan tetapi malah mengardik dan mengurus anak yatim tersebut, hal
inilah yang menjadi asbaab an nuzul Surah Al Ma’un.[17]
Al Ma’un menjelaskan orang-orang yang
mendustakan agama adalah mereka yang meghardik anak yatim, tidak mendorong
memberi makan orang miskin, orang yang lalai dalam sholatnya, berbuat riya’ dan
enggan memberi bantuan kepada yang lebih membutuhkan. Surah ini menegaskan
bahwa tidak memberi makan orang miskin adalah hal yang menjadikan kedustaan
terhadap agama Islam. Tidaklah sebuah anjuran keras kepada manusia untuk
memberikan sebagian ataupun sedikit dari harta yang ia miliki untuk diberikan
kepada orang-orang miskin yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
Kata yahuddu mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak memiliki kelebihan
apapun tetap dituntut untuk berperan sebagai “penganjur pemberian pangan”.
Peranan ini dilakukan oleh siapa saja selama mereka merasakan penderitaan orang
lain. Ayat tersebut tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang
untuk tidak berpartisipasi dan erasakan betapa perhatian harus diberikan kepada
setiap orang yang lemah dan membutuhkan bantuan.
Kata tha’amdalam ayat tidak menggunakan kata ith’am yang berarti memberi makan. Hal ini dikarenakan agar orang
yang menganjurkan ataupun orang yang memberi makan tidak merasa bahwa ia telah
memberikan makan kepada orang-orang yang butuh akan tetapi si pemberi merasa
bahwa makan tersebut adalah hak orang-orang yang membutuhkan tersebut. [18]
Kata wala yahuddu ‘ala tho’amil
miskin pada surah Al Ma’un mempunyai kesamaan ayat dengan Surah Al
Haqqah[69]:34. Dalam ayat tersebut, tergambar bahwa memberi makan termasuk
pertolongan pertama dalam penanggulangan kemiskinan. Meskipun, dalam ayat
selanjutnya menjelaskan bahwa memberikan bantuan tidak hanya hal materi akan
tetapi juga immateri. Kata matrabah
terambil dari kata turab, yang
berarti tanah. Sahabat Ibn Abbas mengartikan miskin(an)Dza Matrabah, dengan “orang miskin yang tidak dapat
tempat tinggal kecuali di tanah” atau dewasa ini diartikan sebagai orang-orang
yang hidup di tempat yang kumuh atau gelandangan dan anak jalanan.[19]
Pelayanan kepada anak yatim dan kaum
terlantar (miskin) meskipun dalam redaksi ayat terbatas pada hal memberi makan
akan tetapi pada hakikatnya hal tersebut hanyalah salah satu contoh dari
pelayanan dan perlindungan yang diharapkan. Mereka juga membutuhkan pendidikan,
pelayanan kesehatan, dan rasa aman. Tanpa itu semua, mereka dapat terjerumus
dalam kebejatan moral yang dampak negatifnya meluas ke seluruh masyarakat.
Dilanjutkan surah Al Isra’ yang
menjelaskan Larangan melakukan pemborosan dalam kehidupan sehari-hari adalah
hal yang ditonjolkan pada ayat dalam Surah Al Isra’ ini. Larangan berimplikasi
pada perintah untuk memanfaatkan hartanya dengan cara memberikannya pada orang
miskin, kerabat dekat dan orang yang berada dalam perjalanan.
Kata atu– yang terdapat dalam ayat dengan terbaca wa ati dzal qurba bermakna pemberian sempurna. Pemberian yang
dimaksud adalah pemberian yang tidak hanya berwujud materi akan tetapi juga
immateri. Al Quran secara tegas menggunakan kata tersebut dalam konteks
pemberian hikmah. Dari sini terlihat bahwa bentuk bantuan tidak hanya mencakup
materi akan tetapi dapat juga berupa immateri. Mayoritas Ulama menilai perintah
disini tidaklah wajib akan tetapi lebih kepada sebuah anjuran. Hanya Abu
Hanifah yang menilainya sebagai perintah wajib bagi orang yang mampu kepada
kerabat dekatnya.[20]
Allah menjelaskan tata cara memeberikan
bantuan dengan mengawali kerabat dekatnya yang membutuhkan, baru kemudian kaum
miskin di sekitarnya. Ayat ini menggaris bawahi adanya hak bagi keluarga
terdekat dengan firmannya fa ati dza
al-qurba haqqahu maka berikanlah kepada keluarga yang terdekat haknya. Hak
yang dimaksud dipahami oleh sementara Ulama dalam arti “pemberian dalam bentuk
materi selain zakat”. Ada juga yang memahaminya dalam arti belasungkawa,
kalimat-kalimat yang indah, serta bantuan keuangan sesuai dengan adat kebiasaan
yang berlaku.[21] Hak orang miskin adalah
memenuhi kebutuhan mereka yang wajar.
Ibnu ‘Asyur memahami ayat ini sebagai
pembatalan adat kebiasaan masyarakat Jahiliah yang mementingkan orang lain atas
keluarganya terdorong oleh keinginan popularitas dan pujian. Islam datang
membatalkan hal tersebut dengan menyatakan runtutan tersebut. Jika yang
berkemampuan memprioritaskan keluarganya maka akan berkurang orang-orang yang
butuh serta tidak akan terjadi tumpang tindih dalam penerimaan bantuan.
Kata wajahdigunakan untuk menggambarkan sesuatu yang menghadapi anda
atau berkaitan dengan anda. Wajah sesuatu adalah yang tampak darinya. Kata mencari atau menghendaki wajah-Nya dipahami
sebagai melakukan sesuatu dengan ikhlas karena ingin memperoleh keridhaan-Nya
serta melihat wajah-Nya. Maka dapat dilihat bahwa orang yang memberikan
sebagian hartanya bagi yang membutuhkan diwali dari keluarga, orang miskin dan
ibn sabil dengan ikhlas akan diberikan sebuah kenikmatan dengan mendapat ridha
dari Allah serta melihat wajah-Nya.
Dalam surah [2:184] selanjutnya
dijelaskan mengenai kewajiban pembayaran fidyah bagi orang yang tidak mampu
mengganti puasa sebagai rasa kepedulian terhadap kaum miskin. Allah sangat
memperhatikan kesejahteraan kaumnya. Begitu juga dengan kaumnya agar mempunyai
kepekaan terhadap yang lainnya. Surah Al Insan menjelaskan Kata ‘ala yang di rangkaikan dengan hubbihi mengisyaratkan betapa makanan
itu mengusai jiwa mereka karena justru mereka menginginkannya untuk diri mereka
sedang makanan itu sendiri sangat sedikit. Ini mengisyaratkan kemurahan hati
mereka serta kesediaan mereka mendahulukan orang lain atas mereka sendiri. Bisa
juga dikatakan ‘ala hubbihi di pahami
dalam arti ats kecintaannya kepada Allah, yakni atas keikhlasan yang penuh demi
Allah.
Ayat ini bermaksud menggambarkan
kepekaan seseorang terhadap lingkungan masyarakatnya. Kepekaan ini diwujudkan
dengan pemberian pangan, bisa juga dalam bentuk lain sesuai dengan kebutuhan
lingkungan. Bisa dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Jika umat manusia telah memiliki kepekaan yang tinggi terhadap yang lainnya
maka akan memebentuk kesejahteraan sosial secara merata.
Kesejahteraan Sosial dalam Al Quran
Kesejahteraan sosial atau al falah,
secara kebahasaan berarti keberuntungan dan kesuksesan, kelestarian dalam
kenikmatan dan kebaikan. Sementara itu menurut Ar Raghib Al Ashfahani
menjelaskan bahwa kata al falah
mengandung dua makna yaitu duniawi dan ukhrawi. [22]
Secara harfiah berarti mendapatkan atau memperoleh keberuntungan.
Konsep kesejahteraan atau al falah yang ditawarkan oleh Al Quran
kepada manusia memiliki dua dimensi yang berpasangan kokoh, selaras, harmonis
serta bernilai fundamental dalam kehidupan orang-orang yang beriman kepada Al
Quran yakni dimensi lahir batin dan dimensi dunia akhirat. Kesejahteraan
dibangun dalam Al Quran berdiri atas lima pilar utama yakni terpenuhinya
kebutuhan fisik – biologis, kebutuhan intelektual, kebutuhan emosi, kebutuhan
spiritual, kebutuhan sosial. Kelima kebutuhan ini, sebagaimana disebutkan,
memiliki dimensi lahir dan batin, serta berpijak pada realitas kehidupan yang
menjadi landasan, motif, dan perjuangan yang mengembangkan kualitas kehidupan
di dunia, tetapi tidak berhenti pada pemenuhan kebutuhan fisik–biologis atau
kehidupan kebendaan yang berhenti pada dimensi waktu dan tempat, kini dan
disini. Kualitas hidup yang menjadi indikator tingkat kesejahteraan yang
ditawarkan Al Quran tercermin seperti apa yang dijelaskan dalam doa sapu jagad
yaitu mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat. [23]
Kesejahteraan menjadi tujuan dari hidup
setiap umat manusia. Tidak ada satupun dari golongan umat yang menginginkan
sebuah kehidupan yang sengsara jauh dari kesejahteraan seperti apa yang telah
dijelaskan. Namun begitu, dalam kenyataan kehidupan yang ada sekarang ini
tidaklah semua manusia merasakan kesejahteraan, yakni bahagia di dunia dengan
seluruh aspek kebutuhan hidup tercukupi.
Di dalam Al Quran, masyarakat yang sejahtera dinamakan
dengan al muflihun yang secara
harfiah berarti orang-orang yang beruntung. Indikator masyarakat sejahtera
yaitu mereka yang beriman pada hal yang ghaib, melaksanakan sholat, dan
menginfakkan sebagian rezeki yang diberikan kepadanya, dan mereka beriman
kepada Al Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan beriman pada
kitab-kitab yang diturunkan sebelum engkau (Muhammad), dan yakin akan adanya
akhirat. Merekalah yang mendapatkan petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah
orang-orang yang beruntung, (meraih kesejahteraan di dunia dan akhirat). (QS Al
Baqarah[2];4-5).
Al
Quran menambahkan bahwa manusia yang mencapai kualitas hidup al muflihun adalah manusia yang beriman
kepada Allah, berhasil membangun masyarakat marhamah, yakni masyarakat yang
peduli dan berbagi yang satu terhadap yang lain atas dasar cinta dan kasih
sayang seperti kaum Muhajirin dan Anshar yang dipimpin oleh Rasulullah SAW.
Keadaan mereka telah dilukiskan dalam Al Quran: “ Dan orang-orang (Anshar) yang
telah menempati Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka
(Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka
tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada
mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan Muhajirin atas dirinya sendiri,
meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran,
maka mereka itulah orang-orang yang beruntung ( meraih kesejahteraan dunia dan
akhirat). QS. Al Hasyr [59]:9).
Mewujudkan kesejahteraan sosial seperti
yang telah dijelaskan Al Quran melalui ayat-ayatnya tersebut memang harus
melalui suatu proses yang tidak mudah. Memberikan bantuan baik berupa materi
ataupun immateri haruslah tepat pada sasaran mereka yang benar-benar miskin dan
membutuhkan bantuan tersebut.
Beberapa langkah yang dapat dijadikan
strategi untuk menanggulangi kemiskinan dan menangani para penyandang masalah
kesejahteraan sosial lainnya yaitu Social
development(rehabilitasi dan pengembangan sosial) dan community empowerment(pemberdayaan masyarakat).
Munculnya Social development memiliki sejarah yang panjang. Menurut Brokensha
dan Hodge, sebagaimana dikutip oleh Isbandi Rukminto Adi bahwa pengembangan
masyarakat lahir dari tradisi ilmu pendidikan (education) dan bidang pekerjaan sosial (social work). Mereka meyakini bahwa dalam pengalaman bangsa
Inggris, pengembangan masyarakat merupakan perkembangan dari mass education(pendidikan massa) dan community education (pendidikan
masyarakat). [24]
Pendidikan massa adalah kesempatan
pendidikan yang diberikan kepada masyarakat luas dengan tujuan untuk membantu
masyarakat sehingga warganya memiliki kecakapan membaca, menulis, dan
berhitung, serta pengetahuan umum yang diperlakukan dalam upaya peningkatan
taraf hidup dan penghidupan sebagai warga masyarakat dan warga negara yang
bertanggung jawab.[25]
Pengembangan masyarakat lahir dari
tradisi pendidikan massa dan berbaris pada bidang pekerjaan sosial (social work), serta memiliki kemiripan
cakupan dengan pendidikan luar sekolah, namun community developmentberkembang menjadi disiplin ilmu yang mandiri.
Pengembangan masyarakat pada intinya merupakan pembangunan kesejahteraan sosial
oleh masyarakat itu sendiri meliputi pelayanan sosial yang berbasis masyarakat,
mulai dari pelayanan preventif untuk pencegahan anak terlantar sampai pada
pelayanan kuratif dan pengembangan untuk keluarga yang berpenghasilan rendah
agar mampu memenuhi kebutuhan dasar guna mengatasi kemiskinan dan masalah
sosial yang dihadapi mereka. [26]
Adapun yang dimaksud dengan community development atau pemberdayaan
masyarakat pada intinya adalah membantu klien (pihak yang diperdayakan), yakni
kaum dhuafa agar mereka memperoleh daya dalam mengambil keputusan dan
menentukan tindakan yang akan ia lakukan untuk perbaikan hidup mereka, termasuk
mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial melalui peningkatan kemampuan dan
rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimilikinya, antara lain melalui
transfer daya dari lingkungannya.[27]
Masyarakat miskin sebenarnya mempunyai
daya atau kemampuan untuk bangkit dari kemiskinannya. Pemberdayaan masyarakat
membutuhkan proses yang berkesinambungan sebagai siklus yang terdiri dari lima
tahapan utama. Lima tahapan tersebut berupa menghadirkan kembali pengalaman
yang memberdayakan dan pengalaman yang tidak memberdayakan (recall
depowering and empowering experience), mendiskusikan alasan mengapa terjadi
pemberdayaan dan penidakberdayaan (discuss reasons for depowerment and
empowerment), mengidentifikasi suatu masalah atau proyek pemberdayaan (identify
one problem or project), mengidentifikasi basis daya yang bermakna bagi
pemberdayaan (identify useful power bases), dan mengembangkan
rencana-rencana aksi pemberdayaan dan mengimplementasikannya (develop and
implement action plans).[28]
Tahapan-tahapan yang berkesinambungan
tersebut jika sampai pada tahapan terakhir yaitu mengembangkan rencana-rencana
aksi pemberdayaan secara total maka problem kemiskinan akan berkurang secara
bertahap. Kaum miskin mendaoatkan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuan mereka masing-masing.
Pengentasan Kemiskinan menuju
kesejahteraan Sosial
Kemiskinan seperti apa yang telah
dijelaskan merupakan problem kemanusiaan yang pelik kaitannya dengan kehidupan
sosial. Kaum miskin merupakan sekumpulan orang yang jika dilihat melalui
ayat-ayat Al Quran adalah kumpulan orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan
dari mereka yang memiliki kelebihan harta. Kaum miskin diprioritaskan menjadi
orang dalam tingkatan awal yang menerima bantuan baik berupa zakat, fidyah dan
sesuatu yang immateri.
Melalui tahap-tahap pembahasan
ayat-ayat tentang kemiskinan memulai dari awal Surah Al Qalm yang
menyatakan bahwa Allah akan memberikan cobaan kepada orang yang kikir dan akan
memasukkan ke neraka saqar (Al Mudatsir: 44). Memberikan bantuan tidaklah
terbatas pada tha’am al miskin atau memberi makan orang miskin akan
tetapi juga memberikan hal diluar materi berupa pelayanan kesehatan, pendidikan
dan sebagainya. Orang yang mau memberikan sebagian hartanya kepada kaum miskin
yang membutuhkan dengan ikhlas dan memohon keridhaan Allah maka dialah yang
termasuk golongan orang-orang yang membebaskan manusia dari kesenjangan menuju
kesejahteraan sosial.
Kesejahteraan sosial atau al
muflihundapat dicapai jika seluruh umat manusia mengerti dan memaknai
pengetasan kemiskinan sebagai hal yang penting dari kehidupannya. Melalui
banyak cara manusia dapat membantu sesama manusia. Banyak badan ataupun lembaga
di Indonesia yang memfokuskan kegiatannya untuk membantu kaum miskin.
Satu hal yang dibutuhkan dalam rangka
pengentasan kemiskinan adalah dengan menyadari pentingnya memberi kepada sesama
yang lebih membutuhkan dengan mengingat bahwa orang yang tidak memberi akan
mendapatkan balasan berupa neraka saqar dan Allah akan sangatlah membenci orang
yang kikir.
Penutup
Kemiskinan sebagai problem kemanusiaan
menjadi hal yang perlu diselesaikan dengan menggunakan strategi tertentu. kaum
miskin bukanlah kaum yang lemah dan tidak mempunyai apapun akan tetapi dalam
berbagai keterangan menyatakan bahwa mereka adalah kaum lemah yang sebenarnya
masih mampu mengembangkan kemampuannya untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Tahapan awal yang diperlukan untuk
menangani problem kemiskinan adalah merubah pola pikir yang telah tertanam
dalam kepribadiannya. Kaum miskin terbagi menjadi beberapa bagian dimana miskin
karena ketidak mampuannya mengembangkan potensi yang dimiliki atau kemalasan
yang dia kembangkan dalam kehidupannya. Pola pikir akan sangat mempengaruhi
perubahan sikap dan perubahan kehidupan manusia. Pola pikir yang harus dibenahi
tidak hanya pada kaum miskin saja akan tetapi mereka yang tergolong pada kaum
atas dianjurkan untuk lebih peka terhadap kaum bawah.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2002. Pemikiran-Pemikiran Dalam
Pembangunan Kesejateraan Sosial, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI)
Al Ashfahani, Ar Raghib Mu’jam
Mufradat Al Fadzh Al Quran , (Beirut: Dar Al Ma’rifah,tth)
Baydhawy,Zakiyuddin, 2009, Teologi Neo Al Maun, (Jogjakarta:
Civil Islamic Institute)
Cohen,Bruce J, 1983, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT
Bina Aksara,)
Edi Suharto.2005.Membangun
Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: Refika Aditama,)
Ismail,Asep Usman . 2012. Al Quran dan Kesejahteraan Sosial,
(Tangerang: Lentera Hati,)
Shihab, Quraish .2002. Tafsir Al Misbah, (Ciputat: Lentera
Hati,)
Soekanto,Soerjono ,1993, Kamus sosiologi, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada)
Soekanto,Soerjono, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar,(Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada)
Sudjana.2001. Pendidikan Luar
Sekolah:wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah, Teori Pendukung dan Asas,
(Bandung: Falah Production)
Watt,W. M. ,1970, Bell’s Introduction to the Quran (Edinburgh: Edinburgh Univ Press)
[1] W. M. Watt,
Bell’s Introduction to the Quran, (Edinburgh: Edinburgh Univ Press, 1970), hlm.
xi
[2] Zakiyuddin
Baydhawy, Teologi Neo Al Maun, (Jogjakarta: Civil Islamic Institute, 2009),
hlm. 77-78
[3] Soerjono
Soekanto, Kamus sosiologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm.288
[4] Bruce J Cohen,
Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1983), hlm.243
[5] Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996), hlm. 256
[6]Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, hlm.256
[8] Isbandi
Rukminto Adi, Pemikiran-Pemikiran Dalam Pembangunan Kesejateraan Sosial,
(Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI,2002), hlm. 128
[9] Asep Usman
Ismail, Al Quran dan Kesejahteraan Sosial, (Tangerang: Lentera Hati, 2012),
hlm.5-7
[10]Ar Raghib Al Ashfahani, Mu’jam Mufradat Al Fadzh Al Quran ,
(Beirut: Dar Al Ma’rifah,tth), hlm. 304-306
[11]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, (Ciputat: Lentera Hati,
2002), Vol. 7, hlm. 353
[13]Susunan
kronologi surat tersebut mengikuti riwayat Ibn Abbas, lebih lengkapnya lihat
pada Taufik Adnan Amal, Rekonstrusi sejarah Al Qur,an hlm. 94
[14] Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, (Ciputat: Lentera
Hati, 2002), Vol. 14, hlm. 254
[15]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 14, hlm, 511
[16]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 15, hlm, 281
[17]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 15, hlm, 645
[18]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 15, hlm, 646
[19]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 15, hlm, 331
[20]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 7, hlm, 73
[21]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 10, hlm, 226
[22]Asep Usman Ismail, Al Quran dan Kesejahteraan Sosial, hlm.
2
[23]Asep Usman Ismail, Al Quran dan Kesejahteraan Sosial, hlm.
2
[24]Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, pengembangan masyarakat dan
Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan pendekatan Praktis),
(Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2001), hlm.135
[25] Sudjana,Pendidikan Luar Sekolah:wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah, Teori
Pendukung dan Asas, (Bandung: Falah Production, 2001), hlm.50
[26]Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: Refika
Aditama, 2005), hlm.37
[27] Isbandi Rukmianto Adi, Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial,(Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2002), hlm.162
[28]Isbandi Rukmianto Adi, Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan
Kesejahteraan Sosial, hlm173-174
Tidak ada komentar:
Posting Komentar