Kamis, 17 Agustus 2017

Problem Kemiskinan Dan Perwujudan Kesejahteraan Sosial Dalam  Perspektif Al Quran
ABSTRAC
Poverty is a problems of life, it’s hard to be solved completely. Indonesia as one of  developing country still find many people with strata lame life. Problem proverty can not finish if goverment or community  around him not give  their special attention to this problem. Discourse about this problem was many planned by many people with books, a short article another. Al Quran as a guideline islamic people expalin this problem. If we look chronology of revelation in Al Quran so we will found ways give some helps for poor community and punishment for we are rich people but not give some helps to poor community. Thourgh a special procces and strategy, decrease problem provety will positive impact to form social walfare in element life people community. Social walfare have a realition with problem provety.  More decreasing provety so will increas chance to consummate social walfare.
Keyword: prevety, social walfare, Al Quran

ABSTRAK
Kemiskinan sebagai sebuah problematika kehidupan memang sesuatu yang sulit untuk dipecahkan secara tuntuas. Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang di dunia masih banyak menemukan masyarakat dengan strata kehidupan yang timpang. Problem kemiskinan tidak akan selesai jika pemerintah maupun masyarakat di sekitarnya kurang memberikan perhatian khususnya terhadap hal tersebut. Wacana mengenai problem ini memang sudah banyak dicanangkan baik berupa buku, tulisan singkat ataupun yang lainnya. Al Quran sebagai pedoman umat Islampun menjelaskan problem tersebut. Jika melihat kronologi turunnya Surah dalam Al Quran maka akan ditemukan cara-cara pemberian bantuan kepada kaum miskin begitu juga dengan hukuman bagi mereka yang mampu akan tetapi enggan memberikan bantuan terhadap sesamanya yang lebih membutuhkan. Melalui proses dan strategi tertentu, mengurangi problem kemiskinan akan berdampak positif pada terbentuknya kesejahteraan sosial pada elemen kehidupan masyarakat. Kesejahteraan sosial memang erat kaitannya dengan problem kemiskinan. Semakin berkurangnya kemiskinan maka akan bertambahnya peluang untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Kata kunci : kemiskinan, kesejahteraan sosial, Al Quran

Pendahuluan
Al Quran bagi kaum Muslimin adalah verbum dei (kalam Allah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Kitab suci ini memiliki kekuatan yang luar biasa di luar kemampuan apapun. Kandungan pesan Illahi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke 7 itu meletakkan dasar untuk kehidupan sosial dan individual kaum Muslimin dalam segala aspeknya. Bahkan, masyarakat Muslim mengawali eksistensinya dan memperoleh kekuatan hidup dengan merespon dakwah Al Quran. Itulah sebabnya, Al Quran berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap Al Quran, kehidupan, pemikiran dan kebudayaan kaum Muslimin tentunya akan sulit dipahami.
Al Quran memang tergolong ke dalam sejumlah kitab suci yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan, memperkukuh identitas kolektif[1] dan juga mencari jalan keluar untuk berbagai macam masalah kehidupan sosial.
Masalah kehidupan sosial memang banyak dibahas di dalam Al Quran. Salah satunya problem kemiskinan yang menjadi kendala terciptanya kesejahteraan sosial secara merata. Kemiskinan berkali-kali disebutkan dalam ayat Al Quran. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa ayat yang menggunakan kata miskin atau masakin. Akan tetapi yang perlu dikaji lebih jauh adalah solusi yang diberikan Al Quran mengenai mereka. Untuk mengetahui dan menemukan serta menjelaskan lebih jauh mengenai solusi yang ditawarkan oleh Al Quran mengenai masalah ini, maka penulis ingin menginformasikan kepada masyarakat muslim, bahwa Al Quran sangat besar perhatiannya kepada kaum miskin.
Profil kaum miskin
Diskursus tentang kemiskinan terus mangalami perkembangan seiring dengan pertumbuhan bentuk-bentuk kemiskinan dan perubahan ruang dan waktu. Dalam tradisi diskursus Barat dikenal ada dua cabang besar pembahasan tentang kemiskinan yang telah mengalami pembentukan dan kristalisasi selama satu periode lebih dari dua abad lamanya. Tradisi pertama adalah perspektif liberal model Anglo Saxon. Tradisi liberal ini memberikan perhatian pada interaksi kompetitif di bawah situasi kelangkaan dan hakikat tingkatan kolektif yang melahirkannya. Tradisi kedua adalah perspektif mekantilis kontinental yang menekankan pada pemanfaatan sumber daya manusia untuk memperkaya negara. Kaum miskin diperlakukan seperti kambing potong yang dibudidayakan untuk kejayaan kaum kaya.[2]
Kaum kaya dan kaum miskin terjadi akibat adanya stratifikasi sosial pada kehidupan masyarakat. Stratifikasi adalah proses atau struktur masyarakat yang dibedakan ke dalam lapisan-lapisan secara bertingkat.[3] Dalam hal ini ada dua istilah yang digunakan dalam stratifikasi  yaitu kelas dan lapisan. Keduanya mempunyai pengertian paralel tanpa membedakan apakah dasar lapisan berupa faktor uang, tanah, kekuasaan, atau dasar lainnya. Kelas sosial menurut Bruce J Cohen dikemukakan sebagai suatu unit masyarakat yang berbeda dari masyarakat lainnya dalam hal nilai, prestise, kegiatan, kekayaan, dan milik-milik pribadi lainnya serta etika pergaulan mereka.[4]
Sistem pelapisan sosial masyarakat mempunyai dua sifat yaitu tertutup (close Social Stratification) dan sistem terbuka (Open Social Stratification), adapun yang bersifat tertutup adalah terbatasnya kemungkinan seseorang berpindah kelas yang satu kepada kelas yang lain. Seseorang yang telah menempati lapisan bawah maka akan sulit baginya untuk naik ke kelas yang lebih tinggi, demikian pula sebaliknya.  Close Social Stratification ini dapat dilihat pada kelas sosial yang didasarkan atas ras, kebangsawanan dan jenis kelamin.[5]
Sistem terbuka (Open Social Stratification) adalah setiap anggota masyarakat mempunyai peluang untuk naik ke lapisan yang lebih tinggi. Bagi masyarakat yang telah menempati lapisan atas maka ada kemungkinan akan turun menjadi kelas masyarakat lapisan bawah.[6]Sistem terbuka ini terdapat pada kelas sosial yang didasarkan pada kekayaan atau ekonomi, pendidikan dan jabatan. Sistem ini membiarkan masyarakatnya untuk bersaing.
Sistem terbuka ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik yang mencatat bahwa jumlah masyarakat miskin pada Maret 2016 dengan jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,01 juta orang (10,86 persen), berkurang sebesar 0,50 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2015 yang sebesar 28,51 juta orang (11,13 persen).[7] Hal ini membuktikan bahwa kelas sosial dengan sistem terbuka dapat berubah tergantung pada usaha, kerja keras dan prestasi yang diperoleh.
Perubahan kelas dalam stratifikasi sosial masyarakat bawah menuju ke lapisan atas menunjukkan bahwa adanya perbaikan kehidupan dari kesenjangan menuju kesejahteraan sosial. Dalam khazanah ilmu-ilmu sosial disebutkan bahwa mengembangkan tingkat kesejahteraan masyarakat merupakan usaha kesejahteraan sosial yang mencakup lima bidang utama yang disebut dengan big five, yaitu bidang kesehatan, bidang pendidikan, bidang perumahan, bidang jaminan sosial, dan bidang pekerjaan sosial.[8]Dalam hal ini kesejahteraan sosial mengacu pada kebijakan pemerintah dalam memberikan pelayanan kaum miskin dalam segala bidang agar kehidupan mereka lebih sejahtera. Selain kebijakan pemerintah, kesejahteraan sosial juga merupakan tanggung jawab masyarakat terhadap sesamanya yang tidak sanggup memenuhi kebutusan dasar dalam segala bidang.
Tingkat keberhasilan  intervensi atau penanganan masalah sosial sangat bergantung pada tiga variabel fundamental yaitu pertama, aspek pengaturan tentang kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial dan pekerjaan sosial yang profesional dengan manajemen yang efektif dan efisien dalam penanganan masalah sosial. Secara umum masyarakat yang mampu mengatur dan mengatasi masalah sosial memiliki kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang tidak dapat mengatur masalah-masalah sosial. Kedua, mengidentifikasi nilai-nilai budaya dan agama serta faktor teknis yang mendorong dan menghambat suatu komunitas atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan asasi manusia. Budaya konsumtif, boros, dan pola hidup yang mubadzir menjadi penghambat satu keluarga, kelompok atau masyarakat dalam memnuhi kebutuhan asasinya. Sebaliknya, pola hidup hemat merupakan fondasi sosial membuka peluang bagi sebuah keluarga, komunitas atau masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya. Ketiga, rakyat miskin yang belum merasakan kesejahteraan tidak seharusnya dijadikan obyek layanan sosial secara terus menurus tanpa adanya program pemberdayaan yang memberikan kesempatan mereka untuk meningkatkan taraf hidupnya. [9]
Kaum Miskin dan Al Quran
Kata miskin berasal dari kata sakana yang berarti diam, tetap dan statis. Menurut Ar Raghib Al Ashfahani mendefinisikan miskin sebagai seseorang yang tidak memiliki sesuatu apapun. Oleh karena itu mereka yang terkandung dalam perkataan miskin lebih rendah dibandingkan dengan makna yang tersirat pada kata fakir.[10]
Berbeda dengan Ar Raghib Al Ashfahani, Imam Syafi’i menjelaskan miskin adalah orang yang masih mempunyai kekuatan untuk bekerja akan tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan kehidupannya. Hal tersebut disandarkan pada Al Quran surah Al Kahfi [18]:79. Menurutnya orang miskin keadaannya lebih baik dibandingkan dengan seorang fakir karena yang miskin masih memiliki  modal untuk mencari rezeki, berbeda dengan fakir.[11]
Dari kedua definisi tersebut jika dilihat kembali dari aspek kebahasaan, mengisyaratkan bahwa istilah miskin terjadi akibat dari keadaan diri seseorang atau sekelompok yang lemah. Ketika seseorang tidak berhasil mengembangkan potensi dirinya secara optimal yakni potensi kecerdasan, mental, dan keterampilan, maka keadaan itu akan berakibat langsung pada kemiskinan yakni ketidakmampuan mendapatkan, memiliki dan mengakses sumber-sumber rezeki sehingga ia tidak memiliki suatu apapun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Jika diteliti lebih lanjut melalui aspek kebahasaan kata miskin yang berasal dari kata sakana maka akan ditemukan  terdapat dalam beberapa ayat dengan perubahan-perubahan kata tersebut. Kata sakana dapat berubah menjadi sakantum, sakinah, sikkina, masakin, miskinan. Kata-kata tersebut tidak semuanya berkonotasi pada kemiskinan ataupun kaum miskin. Seperti pada kata masakinihim yang terdapat pada Thaha[20]:128 tidaklah menunjukkan kaum miskin ataupun kemiskinan akan tetapi menunjukkan arti tempat tinggal. Berasal dari kata sakana yang memiliki arti diam maka kata tempat tinggal juga diartikan sebagai sebuah tempat kediaman seseorang.
Berkenaan dengan fenomena kemiskinan, Al Quran menyebut miskin dalam bentuk tunggal miskin sebanyak 11 kali seperti terlihat dalam Surah Al Qalm[68]:24, Al Mudatsir[74]:44, Fajr[89]:18, Al Ma’un[107]:3, Al Balad[90]:16, Al Isra’[17]:26, Al Kahfi[18]:79, Al Haqqah[69]:34, Ar Rum[30]:38, Al Baqarah[2], Al Insan[76]:8.[12] Surah tersebut diururtkan menurut kronologi turunnya surat[13]tartib nuzuli- dengan tujuan mengetahui definisi kaum miskin secara mendalam dan mengetahui cara-cara yang dapat digunakan untuk pengentasan kemiskinan menuju kesejahteraan sosial.
Dalam surah Al Qalm dan Al Mudatsir menjelaskan mengenai ujian dan balasan bagi mereka yang enggan membantu dan memberikan sebagian kelebihan hartanya untuk kaum miskin. Dalam firmannya, Allah telah menjelaskan ujian seseorang yang mempunyai niat buruk kepada kaum miskin yakni dengan mengambil kembali apa yang telah diberikannya kepada si kikir. Kemudian, Al Mudatsir menjelaskan tentang ancaman Allah untuk mereka yang kikir berupa balasan akan dimasukkannya ke dlam neraka saqar. Hal ini yang perlu diperhatikan oleh masyarakat atau komunitas mereka yang mempunyai harta lebih untuk menyadari bahwa harta adalah sebuah titipan yang akan diambil kapanpun oleh pemiliknya.
Dalam tafsir Al Misbah dijelaskan bahwa dalam surah Al Qalm Larangan kaum miskin masuk ke kebun. Maksudnya, larangan masuk terhadap mereka satu sama lain agar tidak memasukkan orang miskin. Ia menunjukkan betapa kuat tekad mereka untuk mencegah masuknya kaum miskin. Ketika seorang menyampaikan masalah ini salah seorang diantaranya berkata bahwa janganlah berlaku demikian lebih baik kita beri juga bagian orang miskin seperti halnya orang tua kita terdahulu. Namun sarannya tidak terima dan akhirnya diapun mengalah mengikuti kehendak kedua saudaranya yang tua dan yang muda. Sebelum ini dia – yang tengah- telah menegur mereka ketika tidak mengucap Insya Allah. Hal ini dipahami dari ayat-ayat yang menjelaskan perkataan si tengah.[14]
Kebakhilan seorang manusia akan menyebabkan adanya ketidak harmonisan hubungan sosial kemanusiaan. Seperti yang dimaksudkan dari (74:44) bahwa tidak menunaikan ibadah zakat dan tidak adanya keharusan bersedekah adalah salah satu lambang keburukan hubungan mereka terhadap sesama manusia.[15]
Dalam Surah Fajr,  Allah juga menjelaskan mengenai mereka yang terlalu cinta dengan kekayaannya akan sangat berdampak buruk terhadapnya dan orang disekitarnya. Uraian utama Surah ini adalah ancaman kepada kaum musyrikin Mekkah jangan sampai mengalami siksa yang telah dialami oleh para  pendurhaka yang jauh lebih perkasa dibanding mereka, sekaligus berita gembira serta pengukuhan Nabi Muhammad dan kaum muslimin yang pada masa turunnya Surah ini masih tertindas oleh kaum musyrikkin Mekkah. Surah ini juga merupakan celaan kepada mereka yang memiliki ketergantungan sangat bersar terhadap dunia sehingga menghasilkan kesewenangan dan kekufuran.[16]
Ketergantungan terhadap dunia terjadi karena sebuah ujian Allah berupa kekayaan yang berlimpah. Manusia jika diberikan ujian kekayaan maka dia akan melupakan keharusan bersedekah kepada orang miskin kecuali orang-orang yang bertakwa yang mau membagikan hasil keringatnya untuk saudara yang membutuhkan. 
Kekayaan membutakan segalanya. Mereka yang telah diberikan kekayaan melupakan anak yatim, orang miskin yang lebih membutuhkan dan merekapun dengan indahnya memakan harta warisan yang tidak seharusnya menjadi miliknya sampai pada kecintaan kepada hartanya dengan sangat berlebihan.
Dalam Surah Al Ma’un ini Allah mengecam mereka yang berkemampuan akan tetapi enggan, jangankan memberi,  menganjurkanpun tidak sama sekali. Ketika itu bahwa ada seseorang yang konon setiap minggu menyembelih seekor unta. Kemudian datanglah seorang anak yatim yang meminta sedikit daging untnya namun ia tidak memberinya akan tetapi malah mengardik dan mengurus anak yatim tersebut, hal inilah yang menjadi asbaab an nuzul Surah Al Ma’un.[17]
Al Ma’un menjelaskan orang-orang yang mendustakan agama adalah mereka yang meghardik anak yatim, tidak mendorong memberi makan orang miskin, orang yang lalai dalam sholatnya, berbuat riya’ dan enggan memberi bantuan kepada yang lebih membutuhkan. Surah ini menegaskan bahwa tidak memberi makan orang miskin adalah hal yang menjadikan kedustaan terhadap agama Islam. Tidaklah sebuah anjuran keras kepada manusia untuk memberikan sebagian ataupun sedikit dari harta yang ia miliki untuk diberikan kepada orang-orang miskin yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
Kata yahuddu mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun tetap dituntut untuk berperan sebagai “penganjur pemberian pangan”. Peranan ini dilakukan oleh siapa saja selama mereka merasakan penderitaan orang lain. Ayat tersebut tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang untuk tidak berpartisipasi dan erasakan betapa perhatian harus diberikan kepada setiap orang yang lemah dan membutuhkan bantuan.
Kata tha’amdalam ayat tidak menggunakan kata ith’am yang berarti memberi makan. Hal ini dikarenakan agar orang yang menganjurkan ataupun orang yang memberi makan tidak merasa bahwa ia telah memberikan makan kepada orang-orang yang butuh akan tetapi si pemberi merasa bahwa makan tersebut adalah hak orang-orang yang membutuhkan tersebut. [18]
Kata wala yahuddu ‘ala tho’amil miskin pada surah Al Ma’un mempunyai kesamaan ayat dengan Surah Al Haqqah[69]:34. Dalam ayat tersebut, tergambar bahwa memberi makan termasuk pertolongan pertama dalam penanggulangan kemiskinan. Meskipun, dalam ayat selanjutnya menjelaskan bahwa memberikan bantuan tidak hanya hal materi akan tetapi juga immateri. Kata matrabah terambil dari kata turab, yang berarti tanah. Sahabat Ibn Abbas mengartikan miskin(an)Dza Matrabah, dengan “orang miskin yang tidak dapat tempat tinggal kecuali di tanah” atau dewasa ini diartikan sebagai orang-orang yang hidup di tempat yang kumuh atau gelandangan dan anak jalanan.[19]
Pelayanan kepada anak yatim dan kaum terlantar (miskin) meskipun dalam redaksi ayat terbatas pada hal memberi makan akan tetapi pada hakikatnya hal tersebut hanyalah salah satu contoh dari pelayanan dan perlindungan yang diharapkan. Mereka juga membutuhkan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan rasa aman. Tanpa itu semua, mereka dapat terjerumus dalam kebejatan moral yang dampak negatifnya meluas ke seluruh masyarakat.
Dilanjutkan surah Al Isra’ yang menjelaskan Larangan melakukan pemborosan dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang ditonjolkan pada ayat dalam Surah Al Isra’ ini. Larangan berimplikasi pada perintah untuk memanfaatkan hartanya dengan cara memberikannya pada orang miskin, kerabat dekat dan orang yang berada dalam perjalanan.
Kata atu– yang terdapat dalam ayat dengan terbaca wa ati dzal qurba bermakna pemberian sempurna. Pemberian yang dimaksud adalah pemberian yang tidak hanya berwujud materi akan tetapi juga immateri. Al Quran secara tegas menggunakan kata tersebut dalam konteks pemberian hikmah. Dari sini terlihat bahwa bentuk bantuan tidak hanya mencakup materi akan tetapi dapat juga berupa immateri. Mayoritas Ulama menilai perintah disini tidaklah wajib akan tetapi lebih kepada sebuah anjuran. Hanya Abu Hanifah yang menilainya sebagai perintah wajib bagi orang yang mampu kepada kerabat dekatnya.[20]
Allah menjelaskan tata cara memeberikan bantuan dengan mengawali kerabat dekatnya yang membutuhkan, baru kemudian kaum miskin di sekitarnya. Ayat ini menggaris bawahi adanya hak bagi keluarga terdekat dengan firmannya fa ati dza al-qurba haqqahu maka berikanlah kepada keluarga yang terdekat haknya. Hak yang dimaksud dipahami oleh sementara Ulama dalam arti “pemberian dalam bentuk materi selain zakat”. Ada juga yang memahaminya dalam arti belasungkawa, kalimat-kalimat yang indah, serta bantuan keuangan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku.[21] Hak orang miskin adalah memenuhi kebutuhan mereka yang wajar.
Ibnu ‘Asyur memahami ayat ini sebagai pembatalan adat kebiasaan masyarakat Jahiliah yang mementingkan orang lain atas keluarganya terdorong oleh keinginan popularitas dan pujian. Islam datang membatalkan hal tersebut dengan menyatakan runtutan tersebut. Jika yang berkemampuan memprioritaskan keluarganya maka akan berkurang orang-orang yang butuh serta tidak akan terjadi tumpang tindih dalam penerimaan bantuan.
Kata wajahdigunakan untuk menggambarkan sesuatu yang menghadapi anda atau berkaitan dengan anda. Wajah sesuatu adalah yang tampak darinya. Kata mencari atau menghendaki wajah-Nya dipahami sebagai melakukan sesuatu dengan ikhlas karena ingin memperoleh keridhaan-Nya serta melihat wajah-Nya. Maka dapat dilihat bahwa orang yang memberikan sebagian hartanya bagi yang membutuhkan diwali dari keluarga, orang miskin dan ibn sabil dengan ikhlas akan diberikan sebuah kenikmatan dengan mendapat ridha dari Allah serta melihat wajah-Nya.
Dalam surah [2:184] selanjutnya dijelaskan mengenai kewajiban pembayaran fidyah bagi orang yang tidak mampu mengganti puasa sebagai rasa kepedulian terhadap kaum miskin. Allah sangat memperhatikan kesejahteraan kaumnya. Begitu juga dengan kaumnya agar mempunyai kepekaan terhadap yang lainnya. Surah Al Insan menjelaskan Kata ‘ala yang di rangkaikan dengan hubbihi mengisyaratkan betapa makanan itu mengusai jiwa mereka karena justru mereka menginginkannya untuk diri mereka sedang makanan itu sendiri sangat sedikit. Ini mengisyaratkan kemurahan hati mereka serta kesediaan mereka mendahulukan orang lain atas mereka sendiri. Bisa juga dikatakan ‘ala hubbihi di pahami dalam arti ats kecintaannya kepada Allah, yakni atas keikhlasan yang penuh demi Allah.
Ayat ini bermaksud menggambarkan kepekaan seseorang terhadap lingkungan masyarakatnya. Kepekaan ini diwujudkan dengan pemberian pangan, bisa juga dalam bentuk lain sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Bisa dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Jika umat manusia telah memiliki kepekaan yang tinggi terhadap yang lainnya maka akan memebentuk kesejahteraan sosial secara merata.

Kesejahteraan Sosial dalam Al Quran
Kesejahteraan sosial atau al falah, secara kebahasaan berarti keberuntungan dan kesuksesan, kelestarian dalam kenikmatan dan kebaikan. Sementara itu menurut Ar Raghib Al Ashfahani menjelaskan bahwa kata al falah mengandung dua makna yaitu duniawi dan ukhrawi. [22] Secara harfiah berarti mendapatkan atau memperoleh keberuntungan.
Konsep kesejahteraan atau al falah yang ditawarkan oleh Al Quran kepada manusia memiliki dua dimensi yang berpasangan kokoh, selaras, harmonis serta bernilai fundamental dalam kehidupan orang-orang yang beriman kepada Al Quran yakni dimensi lahir batin dan dimensi dunia akhirat. Kesejahteraan dibangun dalam Al Quran berdiri atas lima pilar utama yakni terpenuhinya kebutuhan fisik – biologis, kebutuhan intelektual, kebutuhan emosi, kebutuhan spiritual, kebutuhan sosial. Kelima kebutuhan ini, sebagaimana disebutkan, memiliki dimensi lahir dan batin, serta berpijak pada realitas kehidupan yang menjadi landasan, motif, dan perjuangan yang mengembangkan kualitas kehidupan di dunia, tetapi tidak berhenti pada pemenuhan kebutuhan fisik–biologis atau kehidupan kebendaan yang berhenti pada dimensi waktu dan tempat, kini dan disini. Kualitas hidup yang menjadi indikator tingkat kesejahteraan yang ditawarkan Al Quran tercermin seperti apa yang dijelaskan dalam doa sapu jagad yaitu mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat. [23]
Kesejahteraan menjadi tujuan dari hidup setiap umat manusia. Tidak ada satupun dari golongan umat yang menginginkan sebuah kehidupan yang sengsara jauh dari kesejahteraan seperti apa yang telah dijelaskan. Namun begitu, dalam kenyataan kehidupan yang ada sekarang ini tidaklah semua manusia merasakan kesejahteraan, yakni bahagia di dunia dengan seluruh aspek kebutuhan hidup tercukupi.
            Di dalam Al Quran, masyarakat yang sejahtera dinamakan dengan al muflihun yang secara harfiah berarti orang-orang yang beruntung. Indikator masyarakat sejahtera yaitu mereka yang beriman pada hal yang ghaib, melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang diberikan kepadanya, dan mereka beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan beriman pada kitab-kitab yang diturunkan sebelum engkau (Muhammad), dan yakin akan adanya akhirat. Merekalah yang mendapatkan petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung, (meraih kesejahteraan di dunia dan akhirat). (QS Al Baqarah[2];4-5).
            Al Quran menambahkan bahwa manusia yang mencapai kualitas hidup al muflihun adalah manusia yang beriman kepada Allah, berhasil membangun masyarakat marhamah, yakni masyarakat yang peduli dan berbagi yang satu terhadap yang lain atas dasar cinta dan kasih sayang seperti kaum Muhajirin dan Anshar yang dipimpin oleh Rasulullah SAW. Keadaan mereka telah dilukiskan dalam Al Quran: “ Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan Muhajirin atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung ( meraih kesejahteraan dunia dan akhirat). QS. Al Hasyr [59]:9).
Mewujudkan kesejahteraan sosial seperti yang telah dijelaskan Al Quran melalui ayat-ayatnya tersebut memang harus melalui suatu proses yang tidak mudah. Memberikan bantuan baik berupa materi ataupun immateri haruslah tepat pada sasaran mereka yang benar-benar miskin dan membutuhkan bantuan tersebut.
Beberapa langkah yang dapat dijadikan strategi untuk menanggulangi kemiskinan dan menangani para penyandang masalah kesejahteraan sosial lainnya yaitu Social development(rehabilitasi dan pengembangan sosial) dan community empowerment(pemberdayaan masyarakat).
Munculnya Social development memiliki sejarah yang panjang. Menurut Brokensha dan Hodge, sebagaimana dikutip oleh Isbandi Rukminto Adi bahwa pengembangan masyarakat lahir dari tradisi ilmu pendidikan (education) dan bidang pekerjaan sosial (social work). Mereka meyakini bahwa dalam pengalaman bangsa Inggris, pengembangan masyarakat merupakan perkembangan dari mass education(pendidikan massa) dan community education (pendidikan masyarakat). [24]
Pendidikan massa adalah kesempatan pendidikan yang diberikan kepada masyarakat luas dengan tujuan untuk membantu masyarakat sehingga warganya memiliki kecakapan membaca, menulis, dan berhitung, serta pengetahuan umum yang diperlakukan dalam upaya peningkatan taraf hidup dan penghidupan sebagai warga masyarakat dan warga negara yang bertanggung jawab.[25]
Pengembangan masyarakat lahir dari tradisi pendidikan massa dan berbaris pada bidang pekerjaan sosial (social work), serta memiliki kemiripan cakupan dengan pendidikan luar sekolah, namun community developmentberkembang menjadi disiplin ilmu yang mandiri. Pengembangan masyarakat pada intinya merupakan pembangunan kesejahteraan sosial oleh masyarakat itu sendiri meliputi pelayanan sosial yang berbasis masyarakat, mulai dari pelayanan preventif untuk pencegahan anak terlantar sampai pada pelayanan kuratif dan pengembangan untuk keluarga yang berpenghasilan rendah agar mampu memenuhi kebutuhan dasar guna mengatasi kemiskinan dan masalah sosial yang dihadapi mereka. [26]
Adapun yang dimaksud dengan community development atau pemberdayaan masyarakat pada intinya adalah membantu klien (pihak yang diperdayakan), yakni kaum dhuafa agar mereka memperoleh daya dalam mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan untuk perbaikan hidup mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimilikinya, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.[27]
Masyarakat miskin sebenarnya mempunyai daya atau kemampuan untuk bangkit dari kemiskinannya. Pemberdayaan masyarakat membutuhkan proses yang berkesinambungan sebagai siklus yang terdiri dari lima tahapan utama. Lima tahapan tersebut berupa menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan pengalaman yang tidak memberdayakan (recall depowering and empowering experience), mendiskusikan alasan mengapa terjadi pemberdayaan dan penidakberdayaan (discuss reasons for depowerment and empowerment), mengidentifikasi suatu masalah atau proyek pemberdayaan (identify one problem or project), mengidentifikasi basis daya yang bermakna bagi pemberdayaan (identify useful power bases), dan mengembangkan rencana-rencana aksi pemberdayaan dan mengimplementasikannya (develop and implement action plans).[28]
Tahapan-tahapan yang berkesinambungan tersebut jika sampai pada tahapan terakhir yaitu mengembangkan rencana-rencana aksi pemberdayaan secara total maka problem kemiskinan akan berkurang secara bertahap. Kaum miskin mendaoatkan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Pengentasan Kemiskinan menuju kesejahteraan Sosial
Kemiskinan seperti apa yang telah dijelaskan merupakan problem kemanusiaan yang pelik kaitannya dengan kehidupan sosial. Kaum miskin merupakan sekumpulan orang yang jika dilihat melalui ayat-ayat Al Quran adalah kumpulan orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan dari mereka yang memiliki kelebihan harta. Kaum miskin diprioritaskan menjadi orang dalam tingkatan awal yang menerima bantuan baik berupa zakat, fidyah dan sesuatu yang immateri.
Melalui tahap-tahap pembahasan ayat-ayat tentang kemiskinan memulai dari awal Surah Al Qalm yang menyatakan bahwa Allah akan memberikan cobaan kepada orang yang kikir dan akan memasukkan ke neraka saqar (Al Mudatsir: 44). Memberikan bantuan tidaklah terbatas pada tha’am al miskin atau memberi makan orang miskin akan tetapi juga memberikan hal diluar materi berupa pelayanan kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Orang yang mau memberikan sebagian hartanya kepada kaum miskin yang membutuhkan dengan ikhlas dan memohon keridhaan Allah maka dialah yang termasuk golongan orang-orang yang membebaskan manusia dari kesenjangan menuju kesejahteraan sosial.
Kesejahteraan sosial atau al muflihundapat dicapai jika seluruh umat manusia mengerti dan memaknai pengetasan kemiskinan sebagai hal yang penting dari kehidupannya. Melalui banyak cara manusia dapat membantu sesama manusia. Banyak badan ataupun lembaga di Indonesia yang memfokuskan kegiatannya untuk membantu kaum miskin.
Satu hal yang dibutuhkan dalam rangka pengentasan kemiskinan adalah dengan menyadari pentingnya memberi kepada sesama yang lebih membutuhkan dengan mengingat bahwa orang yang tidak memberi akan mendapatkan balasan berupa neraka saqar dan Allah akan sangatlah membenci orang yang kikir.
Penutup
Kemiskinan sebagai problem kemanusiaan menjadi hal yang perlu diselesaikan dengan menggunakan strategi tertentu. kaum miskin bukanlah kaum yang lemah dan tidak mempunyai apapun akan tetapi dalam berbagai keterangan menyatakan bahwa mereka adalah kaum lemah yang sebenarnya masih mampu mengembangkan kemampuannya untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Tahapan awal yang diperlukan untuk menangani problem kemiskinan adalah merubah pola pikir yang telah tertanam dalam kepribadiannya. Kaum miskin terbagi menjadi beberapa bagian dimana miskin karena ketidak mampuannya mengembangkan potensi yang dimiliki atau kemalasan yang dia kembangkan dalam kehidupannya. Pola pikir akan sangat mempengaruhi perubahan sikap dan perubahan kehidupan manusia. Pola pikir yang harus dibenahi tidak hanya pada kaum miskin saja akan tetapi mereka yang tergolong pada kaum atas dianjurkan untuk lebih peka terhadap kaum bawah.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2002. Pemikiran-Pemikiran Dalam Pembangunan Kesejateraan Sosial, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI)
 .2001. Pemberdayaan, pengembangan masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan pendekatan Praktis), (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI,)
Al Ashfahani, Ar Raghib Mu’jam Mufradat Al Fadzh Al Quran , (Beirut: Dar Al Ma’rifah,tth)
Baydhawy,Zakiyuddin, 2009, Teologi Neo Al Maun, (Jogjakarta: Civil Islamic Institute)
Cohen,Bruce J, 1983, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bina Aksara,)
Edi Suharto.2005.Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: Refika Aditama,)
Ismail,Asep Usman . 2012. Al Quran dan Kesejahteraan Sosial, (Tangerang: Lentera Hati,)
Shihab,  Quraish .2002. Tafsir Al Misbah, (Ciputat: Lentera Hati,)
Soekanto,Soerjono ,1993, Kamus sosiologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
Soekanto,Soerjono, 1996, Sosiologi Suatu Pengantar,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)
Sudjana.2001. Pendidikan Luar Sekolah:wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah, Teori Pendukung dan Asas, (Bandung: Falah Production)
Watt,W. M. ,1970, Bell’s Introduction to the Quran  (Edinburgh: Edinburgh Univ Press)




[1] W. M. Watt, Bell’s Introduction to the Quran, (Edinburgh: Edinburgh Univ Press, 1970), hlm. xi
[2] Zakiyuddin Baydhawy, Teologi Neo Al Maun, (Jogjakarta: Civil Islamic Institute, 2009), hlm. 77-78
[3] Soerjono Soekanto, Kamus sosiologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm.288
[4] Bruce J Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1983), hlm.243
[5] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 256
[6]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, hlm.256
[8] Isbandi Rukminto Adi, Pemikiran-Pemikiran Dalam Pembangunan Kesejateraan Sosial, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI,2002), hlm. 128
[9] Asep Usman Ismail, Al Quran dan Kesejahteraan Sosial, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), hlm.5-7
[10]Ar Raghib Al Ashfahani, Mu’jam Mufradat Al Fadzh Al Quran , (Beirut: Dar Al Ma’rifah,tth), hlm. 304-306
[11]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, (Ciputat: Lentera Hati, 2002), Vol. 7, hlm. 353
[12] Al Mu’jam Al Mufahras Lialfadzil Quranil Karim, hlm.353-354
[13]Susunan kronologi surat tersebut mengikuti riwayat Ibn Abbas, lebih lengkapnya lihat pada Taufik Adnan Amal, Rekonstrusi sejarah Al Qur,an hlm. 94
[14] Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, (Ciputat: Lentera Hati, 2002), Vol. 14, hlm. 254
[15]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 14, hlm, 511
[16]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 15, hlm, 281
[17]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 15, hlm, 645
[18]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 15, hlm, 646
[19]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 15, hlm, 331
[20]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 7, hlm, 73
[21]Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah,Vol. 10, hlm, 226
[22]Asep Usman Ismail, Al Quran dan Kesejahteraan Sosial, hlm. 2
[23]Asep Usman Ismail, Al Quran dan Kesejahteraan Sosial, hlm. 2
[24]Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, pengembangan masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan pendekatan Praktis), (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2001), hlm.135
[25] Sudjana,Pendidikan Luar Sekolah:wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah, Teori Pendukung dan Asas, (Bandung: Falah Production, 2001), hlm.50
[26]Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm.37
[27] Isbandi Rukmianto Adi, Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial,(Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2002), hlm.162
[28]Isbandi Rukmianto Adi, Pemikiran-Pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial, hlm173-174

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERKEMBANGAN TAFSIR DI INDONESIA ABAD  XVI-XIX M Husain Imaduddin Siti Robikah Pendahuluan Pusat studi Islam di Asia Tenggara dan k...